Prof. Dr. Wahyu Wibowo: Proses Kreatif, Karya Puisi Pulo Lasman Simanjuntak Cenderung Bergulat dalam Sepinya

Posted by : wartajab Januari 12, 2025

“Manusia sepi Pulo Lasman Simanjuntak jangan memaknai ungkapan ini secara benar begitu adanya. Dalam proses kreativitasnya, ia cenderung bergulat dalam sepinya. Manusia sepi yang tak hentinya berefleksi tentang hidupnya,” ujar Prof. Dr. Wahyu Wibowo, Dosen Mata Kuliah Filsafat Bahasa di Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Nasional (UNAS) di Jakarta.

Wahyu Wibowo menyoroti sejumlah karya sastra (puisi) penyair Pulo Lasman Simanjuntak (63).

“Yang mesti dibaca dalam rangka menonjolkan refleksinya dari ihwal yang ditangkap oleh pancainderanya,” ujar penulis 50 judul buku ini.

Itu sebabnya-lanjut Wahyu Wibowo-Pulo Lasman Simanjuntak bisa amat produktif menulis puisi sampai sekarang ini.

“Tanpa peduli apakah pembacanya bisa mencernanya dengan mudah,” ucap pria kelahiran Kampung Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat, 8 Maret 1957 ini.

Ketidakpeduliannya itu mohon dibaca tidak dalam rangka meraih “litentia poetica”, sebagaimana kerap dituduhkan orang jika hendak membela seorang penyair yang puisinyanya “tidak berbicara apa-apa.”

“Pada puisi Pulo Lasman Simanjuntak tetap saja terlihat dengan jelas betapa ia hendak mengatakan sesuatu, betapa pun ia harus terengah-engah mengatakannya,” kilahnya.

Pada puisinya berjudul, Ulang Tahun Membaca Suara Tuhan, sebagai contoh, Pulo Lasman Simanjuntak kentara menegaskan bahwa lelah hidupnya ternyata tidak membuatnya diundang pada “mimpi purbanya” tentang eksistensi Tuhan.

Ia selalu merasa “terjebak dalam sebuah permukiman liar”, yang selalu dibanjiri air mata. Ia selalu berharap bahwa ia memang mesti selalu bergerak dalam kesakitan panjang, sementara usia terus saja beranjak.

“Pilu memang membaca puisi karya Pulo Lasman Simanjuntak. Dan, kepiluan itu melalui daya perlokutif tertentu mampu bersifat universal. Lasman Simanjuntak memang manusia sepi yang tak hentinya berefleksi tentang hidupnya,” pungkasnya.

 

Di bawah ini enam puisi karya Pulo Lasman Simanjuntak.

 

DARI BENUA LAIN

dari benua lain
kucuri jejak membatu
kemarau pecah di tangan kiri
seperti suara riuh
pesta rakyat semu
masihkah engkau bermukim di situ ?

matahari melepuh
dalam sajakmu
tak mampu lagi meninju jasadku

“aku datang tanpa topeng, seperti dulu kita pernah memburu para pekerja malam di pinggir kotamu.”

lama engkau sodorkan sumur-sumur subur
menggairahkan cuaca yang surut
dalam permainan kata
permainan makna

di depan pintu gerbang itu
sepiku terperosok
ke dalam selokan

kurenangi tangis
sungai keruh
bulan menganga
bintang-bintang terjaga

di pintu halaman rumahmu
aku berlari kencang
membawa salib
jati diri
tak bertemu
jarak tegak

berkilometer tangisan sudah kusentuh
ratusan perjudian liar
sudah kukunyah
sampai kenyang
dari hotel berbintang tiga
turun lagi ke jagad sejati

sepucuk surat genap
melenyapkan angan debat yang purba

Jakarta , Juli 1997

 

RUMAH MUNGIL TANAH MERDEKA

rumah mungil tanah merdeka
di sini puisiku bernyanyi
bersama santi
berwajah matahari
disodorkan busana
warna putih

masa kanak-kanak
lalu memanjang
membentur pohon rambutan

porselen antik
jadi perhiasan mati
hanya wajah Yesus
ada di jantung kami

sehingga apa saja
tergenang dalam sejarah
dalam rumah tua
boneka panda di kursi, patung porselen, kelinci putih menggelinding dari matahari tuli

nikmat kami menghitung hari-hari
tak pernah tertulis
dalam almanak

lalu kami menembus hujan lebat
sore hari
mengumpulkan sunyi seperti bakteri

cinta birahi liar
jadi penyakit kelamin
lelaki insomnia
setengah hati

Jakarta, Rabu, 31 Agustus 2022

 

TUNTAS

duka siapa mau menyergap
di rimba kamarmu
sejarah berterbangan
tak pernah bercumbu
dengan matahari pagi
hanya sepotong roti tua
disuguhkan pria perkasa

bersenjatakan roh ketakutan
digelar di meja judi
tertangkap angin jahat
pada tiap dinihari

kini kita saling menjaga jarak
ruang dan waktu
tak pernah lagi saling bertemu

kadang kita melepas rindu
menulis berita online
tentang kapal digital, samudera raya
air laut yang merembes
sampai ke penjara di benua orang-orang mabuk kekayaan

sekarang tersisa
hanya doa berdarah saudara- bersaudara

sejam masa kanak-kanak
rasa sesal mengapa dulu kita tak lagi rajin berenang di sungai membusuk
depan rumah

ataukah menghitung
sejumlah perkawinan retak
mulai dari pewarta muda
pujangga teler sampai perwira mualim
yang sempat terjebak
mengurai kesepian di rumah kelam

Jakarta, Jumat 15 Juli 2022

 

SAJAK KRITIS

hari ini kembali sajakku
menjahit sunyi
tanpa angin pagi
hanya suara aliran air kolam
ikan-ikan setengah lumpuh

membuat sajakku semakin kelaparan
mau kemana dibawa tubuhmu
ke padang ilalang
tak ada mata uang
di sana kering kerontang

sementara dari jarak dekat
seorang lelaki tuli mondar-mandir
menyusup dalam sajakku
telah berkemas
untuk menjual nyawa
barang mati apa saja
bisa dimakan dengan rakus

Jakarta , Senin 5 September 2022

 

TIGA MANUSIA DALAM CAWAN LEBUR

tiga manusia telah berdoa sianghari
di bawah matahari dungu
mereka selalu berkeliaran
di taman eden yang terluka
bergumul dengan ayat-ayat suci

mereka masih butuh sepiring syair
bakal dimasak sampai matang
buat santapan ritual
tanpa suguhan beras merah

seperti pekabaran kesehatan
malam tadi
kita harus melenyapkan makanan daging halal

tiga manusia ini terus menunggu
kabar dari benua
selalu bawa bencana
sejak dinihari telah disodorkan lewat penyakit gula dosis tinggi
yang sempat juga menawarkan souvenir
lagu pujian generasi milenial

ya, debata
datanglah dengan segera !

Jakarta, Senin siang 5 September 2022

 

ULANGTAHUN MEMBACA SUARA TUHAN

hujan deras yang dimuntahkan
di atas ranjang keluh kesah ini
tak dapat lagi mengundang
mimpi-mimpi purba
(masa lalu ?)

selalu terjebak dalam sebuah permukiman liar
banjir airmata dan rasa sesal
dibungkus irama kemandulan

lalu saat sunyimu pesiar ke sebuah bangunan tua dalam kota
telah diamarkan lewat seorang pekabar perempuan

“melahirkan seorang anak harus melalui tangan Tuhan, bukan menghambur-hamburkan birahi ke dalam cawan kemiskinan ,” pesannya lewat jendela pesakitan dari seberang pulau sumatera

maka pagihari
bertelut dan berdoalah
saat usiamu telah bergerak
dalam kesakitan tak berkesudahan

tetaplah membaca suara Tuhan
karena ini
ujian iman
seperti abraham

tataplah lagi
matahari basah di depan rumah
terbanglah seperti burung rajawali semakin tinggi
menembus langit baru dan bumi baru

jangan gelisah
tiang awan mendung
juga telah kirim makanan
sehingga para pemulung tak akan bertegur sapa lagi

siapa mau menjual kesetiaan sumpah pernikahan
kudus, kudus,
aku tak mau kelaparan
mati dalam usia belia

Jakarta, Selasa 6 September 2022
(*)

 

Kontributor : Eykel Lasflorest

 

KETERANGAN FOTO : Prof. Dr. Wahyu Wibowo

RELATED POSTS
FOLLOW US