Oleh Rissa Churria
Petualangan ketiga saudara, Arya, Nara, dan Mira, memasuki fase yang semakin menegangkan. Setelah meninggalkan Negeri Api dengan membawa Kitab Peta Harta Karun, mereka yakin bahwa misi mereka semakin mendekati akhir. Namun, tak disangka, sebuah portal misterius muncul di depan mereka, terhisap dalam lingkaran bayangan pekat yang bergerak cepat seperti badai yang tak terlihat.
“Apa ini?!” Arya berteriak sambil mencoba menarik pedangnya, namun kekuatan dari portal terlalu kuat.
Sebelum mereka sempat melakukan apa pun, dunia di sekitar mereka menghilang dan berubah menjadi kegelapan yang mencekam. Kabut kelabu menutupi pandangan mereka, dan udara terasa dingin, hampir membekukan tulang mereka. Mereka telah terhisap ke dalam Dunia Kegelapan, tempat di mana matahari tak pernah bersinar dan hanya bayangan-bayangan hidup yang mengisi setiap sudut.
“Dunia apa ini?” Mira, yang paling muda, bergidik ketakutan.
Tangan kecilnya memegang erat lengan Arya, kakaknya yang tertua. Nara, yang selalu berusaha tenang, mengedarkan pandangan, mencari tanda-tanda bahaya.
Dunia ini jauh berbeda dari semua tempat yang pernah mereka kunjungi. Tidak ada pepohonan, tidak ada langit, hanya hamparan bayangan yang terus bergerak, seolah-olah memiliki hidup sendiri. Setiap langkah mereka terdengar menggema dalam keheningan yang menakutkan. Namun, lebih dari itu, ada sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada kegelapan itu sendiri. Bayangan-bayangan hidup itu perlahan-lahan mendekat, seolah-olah merasakan kehadiran mereka.
“Aku tidak suka tempat ini, kita harus segera pergi sebelum sesuatu yang buruk terjadi.” Nara berbisik.
Namun, mereka tidak tahu ke mana harus pergi. Dunia ini tampak tak berujung, dan setiap jalan yang mereka lalui tampak membawa mereka kembali ke tempat yang sama. Hingga pada suatu ketika, dari tengah kabut, muncul sosok besar dan menakutkan — seorang Penjaga Bayangan. Sosok itu adalah makhluk tinggi dengan tubuh seperti asap yang terus berputar, matanya menyala merah menyala, dan suaranya terdengar dalam seperti guruh yang jauh.
“Apa yang kalian lakukan di sini, para pengembara bodoh?” suara Penjaga Bayangan menggema, membuat ketiga saudara bergidik.
Arya, yang selalu siap menghadapi bahaya, mengangkat pedangnya, meskipun ia tahu bahwa makhluk ini bukan musuh biasa yang bisa dikalahkan dengan kekuatan fisik saja.
“Kami tersesat! Kami tidak berniat mengganggu,” jawab Arya tegas, namun Penjaga Bayangan hanya tertawa kecil.
“Tidak ada yang datang ke Dunia Kegelapan secara tidak sengaja. Setiap orang yang masuk ke sini pasti mencari sesuatu. Apa yang kalian cari?” tanya makhluk itu, kini berjalan melingkari mereka seperti predator mengamati mangsanya.
Nara, yang memiliki kecerdasan tajam, mencoba berpikir cepat. Ia tahu bahwa Penjaga Bayangan bukanlah makhluk biasa.
“Kami mencari jalan pulang. Kami tidak ingin tinggal di sini lebih lama,” ucapnya, berusaha terdengar tenang.
Penjaga Bayangan mendekat, dan dengan satu gerakan cepat, dia menengadahkan tangannya, menciptakan lingkaran api hitam yang menyelimuti mereka.
“Jika kalian ingin pergi dari sini, kalian harus membuktikan diri kalian layak. Dunia ini tidak akan melepaskan jiwa yang lemah,” suaranya penuh ancaman.
“Kalian harus menghadapi ketakutan terdalam kalian di Arena Bayangan.”
Mendengar kata-kata itu, hati ketiganya mulai diliputi rasa takut. Arena Bayangan adalah tempat di mana setiap pengembara harus menghadapi ketakutan paling gelap yang ada di dalam hati mereka. Tidak semua orang berhasil keluar dari arena itu dengan selamat, banyak yang hilang, terjebak dalam ketakutan mereka sendiri.
Namun, Arya, Nara, dan Mira tidak memiliki pilihan lain. Jika mereka tidak menerima tantangan itu, mereka akan terjebak di Dunia Kegelapan selamanya. Dengan satu anggukan tegas, Arya menyetujui tantangan itu.
“Kami siap,” kata Arya mantap, meskipun di dalam hatinya ia tahu ini mungkin menjadi ujian terberat yang pernah mereka hadapi.
Penjaga Bayangan melambaikan tangannya, dan seketika mereka terbawa ke dalam kegelapan yang lebih dalam lagi. Di dalam Arena Bayangan, ketiga saudara dipisahkan dan dihadapkan pada ketakutan terdalam mereka sendiri.
Mira ditarik kesebuah suasana duka, di mana tergambar jelas kedua adiknya yang terluka parah menatapnya dengan pandangan putus asa. Sebagai anak tertua Mira merasa gagal melindungi adik-adiknya.
Ia meraung pilu mencoba membantu mereka. Namun saat tangannya hamper sampai, kedua adiknya terlempar beberapa kaki di depannya. Begitu seterusnya hingga Mira benar-benar putus asa.
Saat Mira terduduk dalam keputus asaan dia melihat bayangan orang tuanya yang mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya dengan lembut.
“Anakku Mira, jangan putus asa. Lanjutkan perjuangan kalian.” Setelah mengatakan itu, bayangan keduanya memudar dan akhirnya hilang.
Mira seperti mendapatkan kekuatan dan mengayunkan senjata kecilnya hingga cermin yang seperti nyata iti pecah berantakan. Mira pun berhasil keluar dari ujiannya.
Arya masuk ke dalam sebuah gua gelap yang dipenuhi bayangan dirinya sendiri. Setiap langkah yang diambilnya, bayangan-bayangan itu semakin nyata, seolah-olah ingin merenggut kesadarannya. Bayangan Arya yang muncul di hadapannya bukanlah dirinya yang biasa. Sosok itu adalah Arya yang penuh dengan amarah, kebencian, dan keinginan untuk menghancurkan. Dia adalah cerminan dari sisi gelap yang Arya sembunyikan dalam-dalam.
“Sampai kapan kamu bisa menahan amarahmu? Kau tahu bahwa kekuatanmu berasal dari amarah itu, bukan?” Bayangan Arya bertanya dengan suara yang mengintimidasi.
Arya mencoba melawan bayangan itu dengan pedangnya, tetapi setiap kali ia menyerang, bayangan itu hanya menertawakannya, semakin menguasai pikirannya. Hingga akhirnya Arya menyadari bahwa dia tidak bisa mengalahkan sisi gelapnya dengan kekerasan. Ia harus menerima bahwa amarah itu adalah bagian dari dirinya, namun ia bisa mengendalikannya. Dengan kekuatan hati, Arya mengakui ketakutannya dan perlahan bayangan itu memudar, meninggalkan cahayanya sendiri yang bersinar terang.
Mira dihadapkan pada sebuah dilema moral. Dia masuk ke sebuah ruangan di mana ia melihat sahabat lamanya yang telah lama hilang. Sahabat itu berada di bawah ancaman, dan satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan menyerahkan kekuatan sihirnya. Mira tahu jika ia melakukan itu, ia akan kehilangan semua kemampuan yang dimilikinya, namun menyelamatkan nyawa orang lain.
“Apakah kamu benar-benar rela mengorbankan segalanya?” tanya suara dari bayangan di sekitarnya.
Dalam keputusasaan, Mira menyadari bahwa ia harus memilih antara kekuatannya sendiri atau hidup sahabatnya. Namun, dalam saat-saat terakhir, ia menyadari bahwa pilihan yang sebenarnya bukan tentang pengorbanan, melainkan tentang mempercayai bahwa kekuatan sejatinya berasal dari niat baiknya, bukan dari sihir itu sendiri. Dengan keyakinan itu, ia berhasil mengalahkan ketakutannya.
Nara dihadapkan pada ketakutannya sendiri: rasa tidak berdaya. Sebagai yang termuda, ia selalu merasa dirinya adalah beban bagi kedua kakaknya. Di Arena Bayangan, ia dihadapkan pada versi dirinya yang tak berdaya, seorang anak kecil yang ketakutan dan tidak bisa melakukan apa pun. Namun, saat ia melihat betapa kakaknya terus berjuang, ia menyadari bahwa kekuatannya bukan datang dari sihir, melainkan dari keberaniannya. Dengan tekad kuat, Nara melepaskan ketakutannya dan memanggil kekuatan sihir tersembunyi dalam dirinya, mengalahkan bayangannya sendiri.
Setelah perjuangan panjang dan menegangkan di Arena Bayangan, ketiganya keluar dengan selamat. Mereka telah mengalahkan ketakutan terdalam mereka dan menemukan bahwa kekuatan terbesar mereka adalah kebersamaan dan kepercayaan satu sama lain.
Namun, ketika mereka keluar dari Arena Bayangan, mereka membawa sesuatu yang tak terduga: bayangan hitam kecil yang menempel di jiwa mereka, menandakan bahwa meskipun mereka telah menang, Dunia Kegelapan tidak akan pernah melepaskan mereka sepenuhnya.(*)
PENULIS
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.