Oleh: Rissa Churria
Buku puisi Nisan Bersajak karya Wijatmoko Bintoro Sambodo, S.Psi., merangkum 109 puisi yang penuh dengan makna mendalam dan simbolisme kuat. Karya ini adalah cerminan eksplorasi emosi manusia yang ditampilkan melalui bahasa yang puitis, kadang penuh teka-teki, dan selalu meninggalkan kesan kuat pada pembaca.
Sebagai sebuah karya sastra, buku ini menampilkan keindahan liris dan kompleksitas emosi yang tersusun dalam setiap larik puisinya. Artikel ini akan mengupas buku Nisan Bersajak melalui pendekatan teori-teori sastra dan sudut pandang para pakar, guna menggali lebih dalam esensi yang ditawarkan oleh puisi-puisi Wijatmoko.
Analisis Teori Sastra
1. Teori Ekspresionisme
Teori ekspresionisme menempatkan seni sebagai medium ekspresi emosi dan pengalaman subjektif. Dalam puisi “Konsekuensi Sepasang Telinga,” pembaca diajak masuk ke dalam kebisingan kehidupan yang memekakkan. Suara-suara di sekitar—meski sering kali kita abaikan—diungkapkan sebagai beban emosional yang terkadang melelahkan. Wijatmoko melalui puisi ini menciptakan pengalaman emosional yang mendalam, memperlihatkan bahwa apa yang kita dengar dapat membentuk bagaimana kita merasakan dunia. Ekspresi dari suara yang disampaikan seolah menjadi cerminan dari kekacauan batin manusia modern.
2. Teori Strukturalisme
Dengan menggunakan pendekatan strukturalisme, kita dapat menganalisis bagaimana elemen-elemen dalam puisi berinteraksi untuk menciptakan makna. Dalam puisi Buku Berbisik, simbol buku tidak hanya menjadi representasi pengetahuan, tetapi juga sebuah medium yang membawa kita pada dimensi peristiwa yang lebih besar—dimensi yang terkadang kita abaikan. Buku ini seperti jendela yang, menurut pendekatan struktural, membangun narasi melalui hubungan antara simbol-simbol yang ada, membawa pembaca masuk ke dalam dunia yang lebih kompleks dan mendalam. Puisi ini menunjukkan bagaimana struktur dan elemen simbolis bekerja sama untuk menciptakan pesan yang menyentuh hati.
3. Teori Postmodernisme
Postmodernisme dengan karakteristiknya yang fragmentatif dan ambigu terlihat dalam sejumlah puisi di buku ini. Puisi Kasarnya Makhluk Halus menggambarkan ketidakpastian dan keambiguan dengan sangat baik. Penyair berbicara tentang kehadiran yang tidak terlihat namun nyata, yang mencerminkan sifat realitas yang tidak mutlak dan selalu dapat dipertanyakan, sebagaimana yang ditawarkan oleh pendekatan postmodernisme. Setiap larik dalam puisi ini seolah menghadirkan dunia yang terbelah, penuh teka-teki, dan terbuka bagi interpretasi. Ini adalah salah satu ciri postmodern yang kuat, yakni keraguan akan kebenaran tunggal dan penekanan pada pluralitas makna.
Pendapat Pakar
Pakar sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono, pernah menyatakan bahwa sebuah puisi harus mampu diinterpretasikan dengan cara yang berbeda oleh setiap pembaca. Nisan Bersajak sangat cocok dengan pandangan ini. Setiap puisi yang ada memiliki lapisan-lapisan makna yang hanya bisa terbuka melalui pembacaan yang dalam dan kritis. Dalam puisinya, Wijatmoko sering kali menyelipkan simbolisme yang kompleks, yang memungkinkan pembaca untuk memaknai karyanya dengan cara yang sangat personal.
Selain itu, Taufiq Ismail, sastrawan Indonesia lainnya, kerap menekankan pentingnya konteks sosial dalam sebuah puisi. Hal ini tercermin dalam puisi Sorak Kerikil Stasiun Pasar Senen, di mana Wijatmoko menyoroti kehidupan masyarakat urban. Melalui puisi ini, penulis menggambarkan hiruk-pikuk dan alienasi yang sering kali dialami di tengah kota, sembari menyentuh tema kerinduan dan keinginan manusia untuk menemukan makna di tengah kehidupan modern yang serba cepat.
Nisan Bersajak karya Wijatmoko Bintoro Sambodo bukan sekadar kumpulan puisi biasa. Ini adalah karya yang menawarkan kedalaman emosional dan simbolisme yang kompleks, membawa pembaca pada perjalanan batin yang intens dan penuh refleksi. Dengan memadukan berbagai teori sastra, buku ini menjadi karya yang sarat makna, mengajak kita untuk melihat dunia dan diri kita sendiri dari perspektif yang lebih mendalam dan berbeda.
Puisi-puisi dalam buku ini tidak hanya berfungsi sebagai ungkapan keindahan bahasa, tetapi juga sebagai jendela ke dalam jiwa manusia. Melalui tema-tema yang diangkat, mulai dari kebisingan kehidupan sehari-hari, hingga kerinduan yang tak terucap—Wijatmoko mengajak pembaca untuk merenung, untuk mengamati, dan akhirnya untuk menemukan arti dari setiap detak jiwa yang tersimpan di balik setiap larik puisinya.
Dengan kekuatan bahasa dan daya tarik emosional yang ditawarkan, Nisan Bersajak layak menjadi karya sastra yang tidak hanya dibaca, tetapi juga dirasakan. Karya ini memberikan ruang bagi pembaca untuk mengekspresikan interpretasi mereka sendiri, dan menjadi cerminan atas kehidupan dan dunia yang kita jalani setiap hari, dunia yang penuh dengan simbol-simbol, emosi yang kompleks, dan misteri yang selalu menunggu untuk ditemukan.(*)
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.