
Penulis Rissa Churria
Setelah berhasil melewati tantangan mengerikan dari Dunia Kegelapan, Arya, Nara, dan Mira kembali melanjutkan perjalanan. Meskipun bayangan gelap masih membekas dalam jiwa mereka, ketiga saudara itu semakin kuat dan bertekad untuk menyelesaikan misi mereka. Namun, perjalanan mereka belum berakhir. Mereka harus menempuh jalan yang lebih berbahaya, menuju tempat yang dikenal sebagai Gua Terlarang, rumah dari seorang penguasa yang tak pernah dikunjungi manusia sebelumnya.
Hari itu, mereka berjalan melewati hutan lebat, di mana pepohonan besar menjulang tinggi, hampir menutupi cahaya matahari. Suasana terasa lebih gelap dari biasanya, dan keheningan hutan membuat mereka merasa seperti sedang diawasi. Bayangan dari pepohonan seolah hidup, mengikuti setiap gerakan mereka.
“Tempat ini tidak terasa benar,” bisik Mira, sambil merapatkan jubahnya.
“Aku merasa kita diawasi.” Lanjutnya bergidik.
“Kita harus tetap waspada,” jawab Arya, yang selalu siap dengan pedangnya.
“Legenda mengatakan bahwa gua ini dijaga oleh sesuatu yang lebih dari sekadar makhluk biasa.” Arya menyapu sekitar dengan matanya yang awas.
Mira, yang selalu penuh perhitungan, mengeluarkan peta kuno yang mereka dapatkan dari Kitab Peta Harta Karun. Gua Terlarang terletak di ujung barat hutan, jauh di dalam perbukitan. Menurut legenda, di dalam gua itu tersimpan pintu rahasia menuju dunia di mana waktu berhenti. Mereka memerlukan Kunci Waktu, sebuah artefak yang hanya bisa ditemukan di dalam gua, untuk membuka pintu itu. Namun, mencapai pintu itu bukanlah hal mudah. Gua tersebut dijaga oleh seorang Penguasa Gua, makhluk misterius yang memiliki kekuatan untuk memanipulasi ruang dan waktu.
Setelah berjam-jam berjalan, mereka akhirnya tiba di depan gua. Mulut gua itu terlihat seperti tengkorak besar dengan taring-taring runcing menjulang ke atas. Udara di sekitar gua terasa lebih dingin, dan angin berhembus membawa bisikan aneh yang membuat bulu kuduk mereka merinding. Seperti sebuah peringatan, bahwa mereka seharusnya tidak melangkah lebih jauh.
“Aku tidak suka ini,” kata Nara dengan suara gemetar.
“Kita sudah sampai sejauh ini, kita tidak bisa mundur sekarang,” jawab Arya tegas.
Dengan langkah hati-hati, mereka masuk ke dalam gua. Begitu mereka melangkah masuk, kegelapan langsung menyelimuti mereka. Cahaya obor yang mereka bawa hanya bisa menerangi beberapa langkah di depan mereka, dan suara tetesan air dari dinding gua menambah suasana mencekam.
Namun, tak lama setelah mereka masuk, pintu gua di belakang mereka tiba-tiba tertutup dengan suara gemuruh besar. Mereka terjebak.
“Tidak mungkin!” teriak Mira, berusaha mendorong pintu itu, tapi sia-sia. Pintu gua tertutup rapat seolah-olah tidak pernah ada pintu di sana.
“Kita tidak punya pilihan lain, kita harus terus maju.” kata Arya.
Perjalanan di dalam gua menjadi semakin menegangkan. Setiap lorong yang mereka lalui terasa seperti labirin tanpa akhir, seolah-olah gua itu sendiri berusaha menyesatkan mereka. Suara langkah kaki mereka menggema, dan bayangan aneh tampak bergerak di sudut mata mereka, meskipun ketika mereka menoleh, tidak ada apa-apa.
“Ini seperti jebakan. Gua ini hidup,” bisik Mira.
“Kita harus lebih berhati-hati.” Katanya memperingatkan kedua saudaranya.
Di tengah perjalanan, mereka menemukan sebuah ruangan besar dengan dinding yang dipenuhi ukiran kuno. Di tengah ruangan itu, ada sebuah patung besar yang menggambarkan makhluk dengan wajah menakutkan dan tangan yang memegang jam pasir raksasa. Di bawah patung itu terdapat sebuah pintu besar yang terbuat dari batu hitam, dengan simbol aneh yang bersinar samar.
“Itu pasti pintu yang kita cari,” kata Arya.
“Kita harus menemukan cara untuk membukanya.”
Namun, sebelum mereka bisa mendekati pintu itu, suara gemuruh keras mengguncang gua. Dari bayangan dinding muncul sosok besar yang terlihat seperti terbuat dari batu, namun matanya menyala dengan cahaya merah. Itu adalah Penguasa Gua, makhluk yang menjaga pintu tersebut.
“Apa yang kalian cari di tempatku?” suaranya dalam dan bergema, membuat lantai gua bergetar.
“Tidak ada yang bisa melewati pintu ini tanpa izinku.” Katanya dengan suara yang lebih menakutkan.
“Kami hanya mencari Kunci Waktu, kami tidak bermaksud mengganggumu” kata Nara dengan suara tegas seperti biasanya, meskipun di dalam hatinya ada sedikit rasa takut.
“Tidak ada yang melewati pintu ini tanpa membuktikan keberanian mereka,” kata Penguasa Gua.
“Jika kalian ingin Kunci Waktu, kalian harus menghadapi ujian. Jika kalian gagal, jiwa kalian akan menjadi bagian dari gua ini selamanya.” Syarat yang sama seperti petualangan sebelumnya pun kembali terlontar.
Sebelum mereka bisa menolak atau mempertimbangkan pilihan lain, lantai di bawah mereka mulai retak dan mereka jatuh ke dalam ruang gelap yang lebih dalam. Mereka terjatuh ke dalam Labirin Batu, sebuah tempat di mana ruang dan waktu saling tumpang tindih, penuh dengan perangkap mematikan dan makhluk-makhluk aneh yang bersembunyi di sudut-sudutnya.
“Apa yang terjadi?!” Nara berteriak, panik.
“Kita terjebak dalam ujiannya, kita harus tetap bersama.” jawab Mira, mencoba tetap tenang.
Namun, mereka segera menyadari bahwa labirin itu bukan sekadar perangkap fisik. Setiap belokan yang mereka ambil membawa mereka ke dunia berbeda. Di satu lorong, mereka berjalan melewati medan pertempuran kuno, dengan bayangan prajurit yang bertarung di sekitar mereka. Di lorong lain, mereka menemukan diri mereka di dalam hutan yang dipenuhi suara bisikan, seolah-olah pepohonan itu hidup dan mengintai mereka.
“Mereka ingin kita tersesat di sini selamanya, kita harus menemukan cara untuk keluar.” kata Arya sambil memperhatikan setiap gerakan.
Namun, tantangan terbesar mereka belum dimulai. Ketika mereka mencapai jantung labirin, mereka dihadapkan pada cermin besar yang memantulkan gambar mereka, namun dengan wajah-wajah yang penuh amarah dan kebencian. Cermin itu bukan sekadar memantulkan, melainkan memanggil bayangan dari diri mereka yang paling gelap, menciptakan sosok yang menyerang mereka dengan kekuatan luar biasa.
Arya harus melawan bayangan dirinya yang penuh amarah, Mira harus menghadapi versi dirinya yang terlalu ambisius, dan Nara harus berjuang melawan ketakutannya sendiri. Pertarungan itu tidak hanya menguji kekuatan fisik mereka, tetapi juga hati dan pikiran mereka.
“Aku tidak bisa melawan diriku sendiri!” teriak Nara dalam keputusasaan.
“Kamu bisa, Nara,” kata Arya sambil menangkis serangan dari bayangan dirinya.
“Kamu hanya perlu percaya pada dirimu sendiri!”
Nara, dengan keberanian yang tumbuh dalam dirinya, akhirnya menyadari bahwa musuh terbesarnya bukanlah bayangan itu, melainkan rasa takutnya sendiri. Dengan satu serangan terakhir, ia berhasil mengalahkan bayangan itu dan membantu kakaknya menyelesaikan pertarungan mereka.
Setelah perjuangan yang melelahkan, mereka akhirnya berhasil keluar dari labirin dan kembali ke ruangan dengan patung raksasa. Di sana, Penguasa Gua menunggu mereka.
“Kalian telah membuktikan diri kalian layak,” katanya dengan nada yang lebih tenang.
“Kunci Waktu adalah milik kalian.” Dengan satu gerakan tangannya, sebuah kotak kecil muncul di hadapan mereka, berisi Kunci Waktu yang mereka cari. Namun, sebelum mereka bisa merayakan kemenangan mereka, Penguasa Gua memberikan peringatan terakhir.
“Ingatlah, Kunci Waktu tidak hanya membuka pintu fisik, tetapi juga membuka rahasia dari waktu itu sendiri. Kalian harus berhati-hati dalam menggunakannya.” Ingatnya.
Dengan Kunci Waktu di tangan mereka, ketiga saudara itu tahu bahwa petualangan mereka belum berakhir. Mereka mungkin telah selamat dari ujian Penguasa Gua, namun misteri dan tantangan yang lebih besar masih menanti mereka.(*)
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.