
Oleh: Rissa Churria
Dalam dunia sastra Indonesia kontemporer, puisi tak lagi hanya bersandar pada lirisisme dan romantika, tetapi juga menjadi medan perlawanan terhadap realitas yang getir dan kompleks. Shantined, dalam kumpulan puisi Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca (Taresia, 2024), menandai dirinya sebagai penyair yang piawai meracik kedalaman rasa personal dengan kesadaran sosial yang tajam. Buku ini bukan sekadar album puisi, melainkan sebuah mozaik lara kolektif, rindu-rindu purba, dan kesadaran sejarah yang teranyam dalam idiom puitik yang khas dan mencengkeram.
Estetika Emosi: Rindu, Cinta, dan Kehilangan
Dalam banyak puisinya, Shantined mengolah pengalaman batin menjadi lanskap emosional yang mengalir. Puisi seperti Mimpi, Tentang Kita, hingga Kecambah, menggemakan kekuatan teori ekspresif sebagaimana dirumuskan oleh M.H. Abrams—di mana puisi menjadi media ekspresi batin penyair yang ditumpahkan ke dalam bentuk-bentuk metaforis yang hidup. Baris seperti “Ada mimpi yang berembun, menempel di jendela” (dalam Mimpi) tak hanya menyimpan imaji visual yang halus, tapi juga menyiratkan perasaan yang tak pernah tuntas dikisahkan. Dalam puisi Kecubung, rindu menjadi ritual yang mengikat dua manusia dalam temali waktu dan doa, menunjukkan bahwa spiritualitas dan kesedihan bukanlah entitas terpisah.
Namun, estetika dalam puisi Shantined bukan semata duka personal. Rasa rindu dalam puisinya adalah rindu eksistensial, semacam kekosongan yang selalu mencari bentuk dan pulang. Inilah yang membuat puisinya bergerak dari ranah individual ke semesta makna kolektif.
Puisi Sebagai Tafsir Sosial: Kritik dalam Liris dan Satire
Yang menarik, di tengah kelembutan liris, Shantined tak gentar menyuarakan kritik sosial dengan gaya yang subtil namun menghujam. Puisi seperti Badut-Badut Agustusan, Rayuan Nasib Beberapa Orang Pemuda, Luka, dan Kesumba, menyuarakan kekecewaan terhadap tatanan sosial-politik yang penuh kepalsuan dan kebusukan. Di sini, pendekatan realisme sosial dalam sastra tampak nyata. Shantined tampaknya sejalan dengan gagasan Bertolt Brecht bahwa seni harus “mengganggu kenyamanan”—puisi tak hanya untuk dinikmati, tapi juga dipertanyakan.
Puisi Badut-Badut Agustusan, misalnya, mengemas ironi hari kemerdekaan menjadi potret absurditas masyarakat: dari lomba-lomba rakyat, sampai paradoks elit yang berpura-pura menjadi representasi bangsa. Kritiknya getir namun disampaikan dengan gaya naratif dan satiris, mengingatkan kita pada semangat puisi Wiji Thukul yang menyuarakan rakyat kecil dengan bahasa yang dapat dimengerti, sekaligus mengguncang.
Bahasa dan Imaji: Simbolisme dan Metafora sebagai Napas Puitik
Secara stilistika, puisi-puisi dalam buku ini sarat dengan simbolisme dan metafora luas (extended metaphor). Shantined menunjukkan kedekatannya dengan bahasa sebagai medium pencerapan batin. Dalam puisi Perahu, perjalanan laut menjadi simbol eksistensial: kayuh dan layar menjadi lambang pilihan hidup, dan badai sebagai tantangan identitas. Dalam Kadaver, tubuh manusia menjadi situs kematian cinta dan ideologi, yang busuk oleh kebohongan.
Sebagaimana dicatat Roman Jakobson, fungsi puisi terletak pada “proyeksi prinsip ekuivalensi dari sumbu seleksi ke sumbu kombinasi”. Dengan kata lain, puisi bukan hanya memilih kata, tetapi membentuk hubungan estetik antara bunyi, citra, dan makna. Kekuatan Shantined terletak di sini: menganyam bahasa sehari-hari menjadi frasa yang bermakna ganda, membawa pembaca pada dua lapis pembacaan—denotatif dan konotatif.
Perspektif Postkolonial dan Ekofeminisme
Banyak puisi dalam buku ini juga bisa dibaca dari perspektif postkolonial. Dalam Indonesia dalam Huruf Kecil, atau Kita yang Tersisa, Shantined menyuarakan luka-luka sejarah bangsa yang belum selesai. Luka tersebut bukan hanya kolonialisme klasik, tetapi kolonialisme baru: teknologi, kapitalisme, dan kerusakan moral birokrasi. Ini sejalan dengan konsep hybridity dari Homi K. Bhabha, bahwa identitas bangsa pascakolonial selalu diganggu oleh residu kekuasaan dan dominasi wacana luar.
Sementara itu, dalam puisi seperti Hutan, Petrichor, dan Tranggulasih, kita bisa melihat jejak ekofeminisme, sebuah pendekatan yang melihat hubungan antara eksploitasi alam dan tubuh perempuan. Shantined menyamakan luka ekologis dengan luka spiritual dan personal, menjadikan alam bukan hanya latar, tapi pelaku dan saksi dari sejarah manusia yang rakus.
Shantined menghadirkan puisi-puisi yang tak sekadar menggugah rasa, tapi juga menggugat nurani. Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca adalah sebuah dokumen estetik dan kultural. Ia merekam zaman dengan lirih, namun membekas. Ia tak teriak, tapi bergetar lama. Buku ini layak dibaca sebagai bagian dari peta puisi Indonesia mutakhir yang tak hanya mempercakapkan cinta, tapi juga luka bangsa, ingatan kolektif, dan harapan yang ditumpahkan perlahan.
Sebagaimana dikatakan Octavio Paz, “Puisi adalah keheningan yang berbicara.” Dalam kumpulan ini, keheningan itu bukan hanya berkata, tapi juga bersaksi.
Patikanci, 10.05.2025
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 10 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, 1 buku Pedoman Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa, 1 buku Esai, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.