Mendobrak Jeruji Imajinasi: Sebuah Tafsir Tentang Harapan di Balik Kemiskinan

Posted by : wartajab Mei 8, 2025

Oleh: Rissa Churria

Imajinasi, bagi sebagian orang, mungkin hanyalah permainan pikiran atau lamunan yang tak berarti. Namun bagi Nadiyah, tokoh utama dalam buku Mendobrak Jeruji Imajinasi karya Masya Firdaus, imajinasi adalah satu-satunya ruang hidup yang tak bisa direnggut oleh kemiskinan, kekerasan, dan keterbatasan nasib.

Lahir dan tumbuh di tengah keluarga petani miskin, dengan ayah yang otoriter dan kasar, Nadiyah hanya sempat mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar. Tetapi semangat belajarnya menyala seperti api yang tak padam. Ia mencintai buku, mencintai huruf, mencintai cahaya pengetahuan meski hanya bisa ia temui dalam gelap dan diam. Ia menjalin dialog dengan Imajinasi—tokoh fiktif sekaligus suara batinnya, tempat ia mengadu, bercermin, dan berdamai dengan luka.

Alquran dalam Surah Az-Zumar ayat 9 bertanya secara retoris:

“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)

Ayat ini seperti disisipkan dalam setiap napas Nadiyah yang haus ilmu. Ia bukan sekadar anak kecil yang ingin tahu, melainkan pribadi yang sadar: bahwa ilmu adalah cahaya, dan kebodohan adalah kegelapan. Meski ayahnya mencemooh, lingkungannya meremehkan, dan kemiskinan menjegal langkahnya, Nadiyah tetap mendobrak jeruji itu—dengan tekad, air mata, dan sejumput keyakinan.

Dalam teori psikologi eksistensial Viktor Frankl, manusia bisa bertahan dari situasi paling getir sekalipun selama ia memiliki makna dalam hidupnya. Dalam kasus Nadiyah, makna itu bukan datang dari dunia luar, melainkan dari dalam: dari doa-doanya, dari bacaan Qurannya, dan dari mimpi-mimpi kecil yang ia rawat sendiri. “Aku ingin menjadi penulis,” kata Nadiyah suatu kali, dan semua orang mentertawainya. Tapi ia tetap percaya, karena Tuhan pun telah berfirman:

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu. At Thalaq : 2–3)

Ayat ini adalah fondasi harapan bagi siapa saja yang terjebak dalam sistem sosial yang menindas. Maka tidak heran jika dalam dunia batinnya, Imajinasi hadir sebagai cahaya: bukan untuk melarikan diri dari realitas, melainkan sebagai kompas agar Nadiyah tidak kehilangan arah.

Secara sosiologis, Nadiyah adalah simbol dari jutaan anak perempuan di pelosok negeri yang terjebak dalam lingkaran patriarki. Seperti kata KH. Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta‘allim, pendidikan adalah kewajiban dan kemuliaan, tidak hanya untuk kaum laki-laki, tapi juga perempuan. Nadiyah melawan bukan dengan membangkang, tapi dengan ketekunan dan laku hidup yang sabar.

Ketika malam datang dan kampungnya tenggelam dalam gelap, Nadiyah melangkah sendiri ke musala, hanya dengan obor dari daun kelapa. Dalam langkahnya yang berat dan lumpur yang menjerat kakinya, ia tetap melantunkan istighfar. Dalam kebekuan tubuh dan semburan angin yang menampar wajahnya, ia tetap membawa semangat. Ia tahu, hidup ini bukan hanya soal bertahan, tapi juga tentang mencari jalan keluar seperti janji Allah kepada orang yang sabar.

Ulama besar Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis, “Siapa yang tidak mampu menahan perihnya belajar di masa muda, maka ia harus siap menanggung pahitnya kebodohan sepanjang hidup.” Nadiyah memilih perih. Ia memilih jalan yang sunyi, tapi mulia. Ia percaya, bahwa imajinasi yang ia pelihara hari ini akan berubah menjadi sayap untuk terbang di masa depan.

Esai ini ingin menjadi saksi bahwa Mendobrak Jeruji Imajinasi bukan hanya buku cerita, melainkan juga kitab kecil tentang perjuangan, iman, dan harapan. Bahwa keterbatasan bukanlah vonis. Bahwa tidak sekolah tinggi bukan berarti tidak boleh bermimpi tinggi. Dan bahwa dalam hidup ini, seperti kata Imajinasi, “terpenjara bukan berarti tak bisa terbang.” Karena Tuhan pun telah berjanji dalam Surah Al-Insyirah:

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6)

Dan bukankah hidup ini, pada akhirnya, adalah perjuangan membebaskan diri dari segala bentuk jeruji? Mulai dari jeruji kemiskinan, jeruji prasangka, hingga jeruji dalam pikiran kita sendiri?

Bekasi, 07.05.2025

 

Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 10 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, 1 buku Pedoman Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa, 1 buku Esai, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.

RELATED POSTS
FOLLOW US