
Berada di Gua Lawa “nikmatnya” adalah duduk sambil menatap gua purba tersebut, dalam keheningan hutan jati, dan kerisik daun-daun jati bergesekan riuh bersahutan dengan kicau burung.
Gua Lawa berada di lahan milik Perum Perhutani Unit II, atau di Dusun Boworejo, Desa Sampung, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Atau sekitar 30 km dari Kota Ponorogo.
Gua Lawa letaknya tidak jauh dari Monumen Reog dan Museum Peradaban yang sekarang sedang dalam proses pembangunan, yang pembuatan patung dadak meraknya di ujung menara sudah mendekati 99%.
Gua Lawa ini sudah lama dikunjungi orang. Jematun (61), pemilik warung di dekat portal jalan arah ke Gua Lawa, bersaksi bahwa sejak kecil dia sudah tahu Gua Lawa banyak dikunjungi orang. Jematun lahir sampai punya cucu tinggal di Dusun Boworejo, Desa Sampung.
“Sejak saya kecil Gua Lawa ya sudah begini ini, dikunjungi orang,” katanya dalam Bahasa Jawa.
Berada di Gua Lawa lantas teringat film Jumanji karya sutradara Joe Johnston berdasarkan novel karya Chris Van Allsburg. Di film yang diproduksi 1995 ini benda bernama jumanji bisa menyedot orang hidup jauh ke masa lalu, bahkan ke masa purba.
Karena tidak mempunyai alat permainan jumanji, penulis hanya bisa menatap gua ini sambil membayangkan kehidupan ribuan tahun lampau, era pra-sejarah, berdasarkan hasil penelitian-penelitian selama ini.
Tiga Lapisan Simbol Peradaban
Gua Lawa dulunya hanya gua biasa saja, terselip di hutan yang lebat. Namun menjadi perhatian dunia—khususnya dalam dunia arkelogi—sejak geolog Louis Jean Chretien van Es melakukan penelitian geologi di hutan ini, khususnya di sekitaran Gua Lawa. Maklum saja, pekerjaan van Es di Jawatan Geologi Hindia-Belanda adalah meneliti endapan tanah untuk kepentingan pertanian pemerintah Hindia Belanda.
Penelitian van Es yang kelahiran Padang, Sumatera Barat, dan berdinas di Bandung, itu tahun 1926. Dr. Pieter Vincent van Stein Callenfels, seorang arkelolog kelahiran Negeri Belanda, karena penasaran dengan penelitian van Es, pada tahun 1928-1931 melanjutkan penggalian (ekskavasi) di Gua Lawa.
Buku yang diterbitkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Sampung Bone Industries, Budaya Alat Tulang di Situs Gua Lawa (2020), yang ditulis Jatmiko (peneliti Puslit Arkenas), menyebutkan, penelitian Callenfels mengidentifikasi bahwa ada tiga lapisan (strata) yang berbeda di Gua Lawa.

Intinya, setidaknya di situs Gua Lawa pernah dihuni oleh manusia pada masa lampau (pra-sejarah) secara berkesinambungan.
Pada lapisan terbawah (strata ketiga yang merupakan lapisan terbawah) dicirikan oleh artefak mata panah berdasar membulat dan bersayap yang merupakan hasil teknologi neolitik. Terbuat dari tulang.
Lapisan kedua ditemukan alat-alat berburu dan sehari-hari dari tulang seperti sudip cekung-cembung (concavo-convex) dan lancipan belati dari tanduk yang diperkirakan berasal dari budaya Neolitik.
Sementara lapisan teratas, ditemukan antara lain berupa tembikar modern, keramik asing, fragmen perunggu-besi, serta beliung persegi. Pada lapisan teratas ini sebagai bukti kehidupan di Gua Lawa selalu berkesinambungan.
Temuan batu giling dan batu pelandas hampir dapat dijumpai pada seluruh lapisan budaya terebut.
Tiga lapisan tanah tersebut mencerminkan era peradaban di sekitar Gua Lawa yang terus berlangsung dan berkelanjutan. Setiap era menunjukkan hasil teknologinya masing-masing.
“Beberapa temuan hasil penelitian tersebut bahwa satu karakteristik budaya pra-sejarah di situs Gua Lawa adalah industri alat tulangnya yang sangat melimpah serta bervariasi bentuk/tipenya. Begitu menonjolnya temuan artefak tulang dari gua ini hingga Gua Lawa terkenal dengan eponym ‘Sampung Bone Industries’ atau ‘Sampungan’,” kata Jatmiko.
Temuan alat-alat tulang dan rangga/tanduk rusa di Gua Lawa antara lain terdiri dari jenis lancipan, sudip dan belati; di samping itu juga banyak ditemukan perhiasan dari cangkang moluska, artefak serpih-bilah, beliung persegi, fragmen perunggu-besi, gerabah berhias tera-tali (cord-mark), hematit, dan lain sebagainya.
Pasca penelitian van Es dan Callenfels, penelitian (ekskavasi) di Gua Lawa Sampung sempat terhenti lama dan kemudian mulai dirintis lagi oleh tim dari Puslit Arkenas pada tahun 1999, 2000, dan 2008.
Setelah hampir 11 tahun terhenti, penelitian di situs Gua Lawa baru dilanjutkan lagi pada tahun 2019. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, setidaknya diperoleh berbagai informasi tentang gambaran kehidupan masa lampau (pra-sejarah) di situs ini.
Petarung Berburu Hewan Besar
Dilihat dari aspek budayanya, Gua Lawa telah memberikan dua jenis artefak utama, yaitu artefak tulang dan batu. Artefak tulang yang paling dominan (sekitar 90%), dibuat dari tulang panjang binatang besar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya tulang-tulang binatang kecil yang dipakai dalam peralatan mereka.
Alat atau tulang sebagian besar dibuat dari tulang binatang besar jenis kerbau hutan (Bovidae) dan rusa (Cervidae), sedangkan binatang lain menjadi minoritas, misalnya monyet ekor panjang (Macaca sp.).
“Padahal primata tersebut selama ini diketahui sebagai ‘primadona’ binatang buruan oleh manusia penghuni gua pada situs-situs yang se-zaman, misalnya di berbagai situs gua di Gunung Sewu (Brahulu, Song Keplek, Song Terus, Song Gupuh, dsb) yang berada di jajaran Pegunungan Selatan Pulau Jawa,” kata Jatmiko.
Berbagai temuan pada situs gua-gua hunian di Gunung Sewu menunjukkan bahwa perburuan binatang kecil dan pembuatan alat-alat serpih (artefak batu) merupakan prioritas utama dalam aspek pengembangan budaya.
“Namun, situasi kontradiktif alias ‘penyimpangan’ hasil budaya tersebut ternyata ditunjukkan di situs Gua Lawa, yaitu terkait dengan karakter yang menjadi sasaran dalam perburuan adalah jenis binatang-binatang besar,” kata Jatmiko.
Dan dalam hal pengembangan budayanya, alat-alat tulang di Gua Lawa menunjukkan jauh lebih dominan dibandingkan dari pembuatan alat serpih batu. Kedua faktor perbedaan ini bisa jadi terkait dengan eksistensi binatang buruan pada saat penghunian gua dan sangat mungkin berkaitan dengan aspek-aspek ekologis.
“Industri alat tulang di Gua Lawa mempunyai suatu ciri khas budaya tersendiri yang tidak dimiliki oleh gua-gua pra-sejarah lainnya,” kata Jatmiko.
Sambil menatap Gua Lawa itu penulis kembali membayangkan betapa penghuni Gua Lawa adalah petarung, jantan, pemberani. Mereka tidak “tarung” dengan hewan-hewan kecil sekelas monyet, namun memilih “tarung” dengan hewan-hewan besar untuk pembuatan perkakasnya.
Wajar kalau di kemudian hari dari Bhumi Ponorogo lahir kesenian reog, kesenian yang berkarakter jantan atau sangat laki-laki itu.
Penghuni Gua Lawa
Penelusuran tentang manusia penghuni Gua Lawa dilakukan oleh Puslit Arkenas. Dicoba dilacak melalui tinggalan budayanya. Perkakas alat tulang seperti spatula/sendok, penusuk, dan lancipan secara periodisasi merupakan hasil budaya yang terkait dengan ras Australomelanesid.
Sementara itu, artefak mata panah dari batu ditafsir oleh tim peneliti Puslit Arkenas tahun 2019 sebagai hasil budaya Neolitik yang terkait dengan ras Mongoloid (Jatmiko dkk, 2019). Artefak mata panah tersebut kemungkinan dibuat oleh manusia yang rangkanya yang telah ditemukan di Gua Lawa pada tahun 2000-an.
Karenanya, kata Jatmiko, tinggalan budaya di situs Gua Lawa mengindikasikan adanya suatu proses hunian berkesinambungan yang dilakukan oleh kelompok manusia ras Australomelanesid dan kemudian dilanjutkan oleh manusia ras Mongoloid yang berlangsung antara 10.000 – 3.000 tahun lalu.
“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwasannya Gua Lawa merupakan sebuah situs hunian lintas zaman (multi-component site) sejak periode awal Holosen,” kata Jatimiko. (budi santoso, wartawan/sastrawan)