Yang Terdekat dan yang Terjauh dalam Hidup Manusia

Posted by : wartajab April 4, 2025

Penulis: Ustadz Triyoga AK,S.Ag

Hujjatul Islam, Syeh Imam Al-Ghazali, suatu ketika bernasehat kepada murid-muridnya. Beliau melontarkan 6 pertanyaan (question) penuh makna.

Question pertama: Apa yang paling dekat dengan diri kita dalam hidup ini? Jawaban para murid variatif. Ada yang mengatakan bahwa keluarga-lah yang paling dekat. Ada yang menjawab sahabat sejati yang paling dekat. Ada juga yang menyebut suami atau istri yang paling dekat, dan lain-lainnya.

Dengan bijak syeh Imam Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban para muridnya itu tidak salah. Namun yang paling benar, menurutnya, bahwa yang paling dekat dalam hidup ini adalah “kematian”. Para murid pun tercengang mendengar jawaban sang guru yang sangat logis dan mengandung nasehat mendalam itu.

Sebagai seorang ahli tasawuf dan sangat dekat dengan Allah, hujjah-hujjah Imam Ghazali memang kerap menjadi sandaran pemikiran dan teladan umat di eranya hingga sekarang. Karya besarnya yang best seller, kitab Ihya Ulumuddin, bahkan menjadi salah satu kitab yang paling banyak dikaji di zaman sekarang.

Ustadz Triyoga AK, S.Ag.

 

Di question pertama ini (tentang kematian), jika ditelaah, memang sarat dengan filosofi kehidupan manusia. Kematian adalah suatu keniscayaan. Artinya dia pasti terjadi. Bahkan Al-Qur’an menegaskan: “kullu nafsin dzaaiqatul maut,” (Tiap-tiap jiwa pasti akan merasakan mati). Karena suatu kepastian maka kematian tidak akan berubah status dan perannya. Karena itu dia sangat dekat dan mengintai setiap makhluq yang bernyawa. Jika ada selain kematian yang sangat dekat dengan diri seseorang, maka itu tidak-lah bersifat permanen. Suatu ketika bisa jadi dia akan menjauh dan bahkan terjauh.

Nah terkandung nasehat, jika kematian adalah suatu kepastian dan sangat dekat, maka seyogyanya setiap manusia waspada dengan kehadirannya. Mengapa demikian, karena itu merupakan gerbang yang akan mengantarkan setiap jiwa ke dimensi kehidupan berikutnya, yaitu alam barzah dan alam akherat.

Kewaspadaan itu mencakup persiapan amal kebaikan. Dalam perspektif orang beriman, jelas sekali bahwa amal salih adalah bekal terbaik menuju kehidupan berikutnya setelah kehidupan dunia ini. Tanpa bekal itu seseorang diragukan akan selamat dan menuai hasil positif di akherat.

Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Sayyidina Abu Bakar Shiddiq (dalam kitab Nashaihul ‘Ibad): “Man dhakhalal qabra bilaa zaadin, fakaannamaa rakibal bahra bilaa safiinatin,” (Barang siapa masuk ke dalam qubur tanpa membawa bekal/amal salih, maka mereka seperti mengarungi lautan tanpa kapal/mereka akan tenggelam dan tidak selamat).

Kecuali jika ada orang yang menyelamatkannya maka masih ada peluang dia selamat. Rasulullah saw menggambarkan keadaan mereka sebagaimana sabdanya: “Mal mayyitu fii qabrihi Illa kalghariiqil mughawwitsi,” (Tiada mayit di dalam qubur kecuali seperti orang yang tenggelam dan meminta pertolongan).

Begitu urgennya bekal amal salih untuk menyambut kematian itu, hingga Rasulullah saw pernah bersabda, bahwa orang yang cerdas itu adalah orang yang berpikir tentang kematian dan lalu bersiap-siap mengumpulkan bekalnya.

Kecerdasan dalam sabda Rasulullah ini sangat realistis. Artinya, sehebat apapun orang dalam urusan dunia, ketika tidak dibarengi dengan pemikiran dan persiapan untuk kehidupan berikutnya, maka dia adalah orang yang bodoh (tidak cerdas), sebab dia masuk dalam katagori orang yang rugi. Semua yang diraih di dunia hanya merupakan kesia-siaan.

Question kedua: Apa yang paling jauh dalam hidup ini? Para murid Imam Ghazali bersahutan menjawab. Ada yang berkata matahari yang paling jauh karena tampak kecil ketika dilihat. Ada yang menjawab planet-planet selain bumi yang terjauh karena saking jauhnya hingga tidak terlihat sama sekali. Ada yang menyebut bulan adalah benda angkasa yang paling jauh, dan lain-lain.

Lagi-lagi dengan bijak Imam Ghazali menerangkan bahwa semua jawaban muridnya benar. Tapi yang paling benar secara hakekat, yang paling jauh dari hidup kita adalah “masa lalu”. Para murid semakin takjub dengan jawaban sang guru yang tidak terduga namun sangat masuk akal dan lagi-lagi bermuatan nasehat.

Dari jawaban tersebut tampak sekali bahwa Imam Ghazali menekankan tentang pentingnya memanfaatkan waktu. Masa lalu adalah waktu yang sudah terlewati. Dia telah pergi jauh, dan saking jauhnya manusia tidak mungkin akan bertemu lagi. Karena itu manusia tidak boleh terpaku kepada masa lalunya. Sebuah idiom mengatakan: “yang lalu biarlah berlalu.” Yang harus menjadi skala prioritas manusia adalah waktu sekarang (now) dan waktu yang akan datang (next).

Memprioritaskan waktu sekarang dan yang akan datang itu sinkron dengan perintah Allah bagi orang beriman. Allah berfirman dalam QS Al-Hasyr ayat 18: “Ya ayyuhal ladziina aamanuu ittaqullaha wal tandzur nafsum maa qaddamat ligad….,” (Wahai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa melihat apa yang sudah dilakukan di waktu sekarang untuk persiapan hari esok/next time…).

Jelas sekali bahwa perintah Allah itu lebih merupakan seruan agar manusia selalu bermuhasabah di setiap waktu. Prinsip yang harus dipegang teguh dalam bermuhasabah itu adalah bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Dalam sebuah riwayat, seperti yang penulis sampaikan di tulisan sebelumnya, Rasulullah saw memberi penegasan penting terkait prinsip muhasabah ini.

Sabda beliau saw: “Man kaana yaumuhu khairan min amsihi fahuwa raabihun‘” (Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia adalah orang rang beruntung/sukses).

Wa man kaana yaumuhu mistla amsihi fahuwa maghbuunun,” (Dan barang siapa yang hari ini sama saja dengan hari kemarin maka dia adalah orang yang tertipu).

“Wa man kaana yaumuhu syaarran min amsihi fahuwa mal’uunun,” (Dan barang siapa yang hari ini justru lebih buruk dari kemarin maka dia adalah orang yang terlaknat).

Empat question berikutnya dari Imam Ghazali insyaa Allah akan dibahas di episode tulisan berikutnya. Di akhir penulisan ini, penulis berharap semoga kita selalu ingat dengan apa yang terdekat dengan kita (kematian) dan apa yang terjauh dengan diri kita (masa lalu).

Wallahu a’lam bish shawab

 


Ustadz Triyoga AK, S.Ag., adalah pimpinan Majlis Taklim Hubban Lil Iman, Cilangkap, Kota Depok, Jawa Barat. Majlis ini mengusung jargon: Mengisi Hati dengan Dzikir dan Thalabul Ilmi dan  misi: Amar ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran). Aktivitas:

  1. Pengajian rutin setiap Rabu malam Kamis (dzikir sadzili dan kajian ilmu agama)
  2. Pemberian santunan kepada anak yatim dan kaum dhuafa
  3. Menggelar tabligh akbar di setiap momen hari besar Islam
  4. Pembiayaan pendidikan kepada anak kurang mampu dan anak yatim ke sekolah berbasis Islam seperti pesantren
  5. Rencana ke depan, memberangkatkan para guru ngaji dan marbot masjid ke tanah suci (haji dan umroh)

Informasi:  (WA)  081219201911

Channel YouTube: Hubban TV

RELATED POSTS
FOLLOW US