Penulis: Ustadz Triyoga AK, S.Ag
Isra’ dan Mi’raj adalah sebuah peristiwa traveling spektakuler lintas dimensi ruang dan waktu seorang manusia paling mulia dan agung, yaitu Baginda Nabi Besar Muhammad Saw. Kenyataan ini tidak akan pernah terbantahkan, karena telah Allah abadikan dalam Al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 1:
“Subhanal ladzii asraa bi’abdihi lailan minal masjidil haraami ilal masjidil aqsha…” (Maha suci Allah, yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha….”).
Yang menghebohkan, traveling (perjalanan) isra‘ yang dilanjut dengan mi’raj (naik) ke langit saf 7 itu hanya memakan waktu 8 jam, yaitu Pkl 20.00 (ba’da isya) sampai 04.00 (waktu subuh). Berbagai analisa dan pengamatan ilmiah pun bermunculan hingga saat ini.
Banyak dari mereka berupaya meneliti dan menganalisa dari aspek scientis (keilmuan). Meski belum mampu merumuskan konklusinya secara komprehensif, namun setidaknya mereka telah berhasil ‘meraba-raba’ fenomena cakrawala alam semesta ciptaan Allah Yang Maha Kuasa itu walau mungkin cuma 0,0001 sekian prosen saja.
Sebuah pengamatan, misalnya, mengatakan bahwa Rasulullah menggunakan kecepatan cahaya maksimal/tertinggi dalam isra‘ dan mi’raj itu. Sebagaimana diketahui, menurut para ilmuwan, kecepatan cahaya itu adalah 300.000 km/detik. Jadi seumpama cahaya itu melingkar mengelilingi bumi, maka satu detik bisa mengitari bumi sekitar 6 atau 7 kali.
Karena menggunakan kendaraan Buraq dan ditemani oleh makhluq cahaya (malaikat Jibril), maka diprediksi bahwa dalam perjalanan itu Rasulullah bergerak dengan kecepatan cahaya tertinggi. Dalam satu jam beliau bisa menempuh jarak sampai 4.320.000.000 km.
Sungguh suatu perjalanan fantastis yang menurut nalar imposible. Betapa tidak, secara logika, badan atau fisik manusia ini berada pada dimensi alam yang secara sunatullah tidak mungkin bisa menembus dimensi lain, apalagi dimensi alam malakut yang dihuni oleh para malaikat (makhluq yang terbuat dari cahaya).
Maka ada seorang pengamat mengatakan bahwa sebenarnya ketika malaikat Jibril, Mikail dan Israfil mendatangi Rasulullah sebelum isra‘ dan mi’raj dan menurut kisah membelah dada Rasulullah lalu membersihkannya, yang terjadi sebenarnya adalah sebuah proses transformasi (perubahan). Badan Rasulullah yang khas manusia (kasar) diganti dengan badan cahaya. Dengan begitu Rasulullah bisa menembus dimensi lain layaknya malaikat yang sudah berbadan cahaya.
Namun sehebat apa pun cahaya dengan kecepatannya itu tetap masih berkutat di tata surya atau lingkup alam semesta. Artinya, itu masih berada dalam jangkauan logika ilmiah otak manusia. Faktanya, para malaikat saja biasa mondar-mandir di sekitar kita saat kita sedang berdzikir dan ta’lim. Cuma karena berbeda dimensi sehingga tidak terjadi gesekan atau tabrakan.
Yang di luar nalar adalah ketika Rasulullah mencapai puncak tertinggi dalam traveling isra’ mi’raj itu, yaitu ketika sampai di Sidratul Muntaha. Malaikat Jibril sampai berkata: “Ya Rasulullah cukup sampai di sini (langit ke 7) saya menemani engkau.”
Rasulullah yang sempat kaget dengan ucapan Jibril akhirnya menjadi mengerti bahwa di langit ke 7 itulah batas akhir alam semesta, yang tidak berlaku lagi rumus waktu dan hukum sebab akibat. Di situlah terdapat Sidratul Muntaha. Jika Jibril nekad menerobosnya maka bisa langsung musnah. Rasulullah akhirnya bergegas sendirian dan berjumpa dengan Allah SWT.
Dialog antara Sang Khaliq dengan kekasih-Nya dalam pertemuan agung itu terabadikan dan akrab kita kenal dengan sebutan bacaan tasyahud —merupakan salah satu rukun dalam shalat, yang wajib dibaca oleh setiap muslim ketika melakukan shalat.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Sidratul Muntaha adalah alam yang berada di luar sistem tata Surya. Bersifat gaib atau immaterial. Ini sesuai dengan apa yang Allah gambarkan dalam Al-Qur’an surat az-Zumar ayat 46 bahwa Allah menciptakan langit dan bumi, dan maha mengetahui yang gaib maupun yang nyata.
Satu fakta menarik bawah Jibril sebagai makhluq cahaya dan merupakan ‘komandan’ nya para malaikat tidak mampu menerobos Sidratul Muntaha di langit ke 7. Sementara Baginda Nabi Muhammad Saw mendapat keistimewaan bisa memasukinya dan berdialog langsung dengan Allah, Dzat Yang Maha Tinggi, Maha kuasa dan Maha Perkasa.
Maka ini mempertegas simplikasi dan statemen para ulama, bahwa ternyata Baginda Nabi Muhammad Saw adalah benar-benar Cahaya di atas Cahaya (Nuurun Fauqa Nur)
Cahaya beliau meliputi segala sesuatu. Percikan dan biasnya termanifestasi di seantero alam semesta ini. Dalam sebuah hadits qudtsi, Allah berkata kepada Rasulullah: “Jika bukan karena engkau wahai Nabi, maka tidak Aku ciptakan bumi, langit dan seluruh jagad raya ini.”
Berkaitan dengan tugas ke-rasulan (sebagai utusan Allah) yang sangat manusiawi, Allah mengatakan dalam firman-Nya: “Wa ma arsalnaaka Illaa rahmatan lil ‘aalamiin,” (Dan tidak aku utus engkau wahai Nabi kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam).
Jadi jelaslah sekarang bahwa aspek fundamental peristiwa Isra’ & mi’raj itu sejatinya adalah suatu bentuk pengukuhan eksistensi Baginda Nabi sebagai Cahaya di Atas Cahaya. Bahwa ada kejadian-kejadian unik seperti perjumpaan Rasulullah dengan para nabi pendahulunya di langit ke 1 sampai 7, lalu penglihatan Rasullullah tentang penghuni surga dan neraka, hingga kronologi perintah shalat 5 waktu yang melibatkan nabi Musa yang dikenal sangat bawel, semua itu hanyalah salah satu bentuk atraksi kekuasaan Allah yang tiada batas.
Sungguh Allah sangat bijaksana, mengajarkan kepada kita sebuah analog sederhana yang bisa menjadi bahan tafakur dan tadabur, bahwa perjalanan sang Cahaya itu adalah sebuah traveling horisontal dan vertikal yang membentuk sudut siku-siku.
Begitulah kehidupan ini yang diajarkan oleh sang Cahaya di atas cahaya agar kita ini terus istiqamah membentuk sudut siku-siku. Di satu sisi bergaris horisontal, yaitu beramal sholeh dalam hablum minan nas (hubungan sesama manusia) dan di sisi lain bergaris vertikal (tegak lurus), yang bermakna habblum minallahi (hubungan dengan Allah), yaitu mengokohkan tauhid atau keimanan kepada Allah SWT.
Dua hal itulah, insyaa Allah, yang akan membuat diri kita ‘kecipratan’ percikan cahaya Rasulullah saw seberapa pun kadarnya.
Wallahu a’lam bish showab
Ustadz Triyoga AK, S.Ag., adalah pimpinan Majlis Taklim Hubban Lil Iman, Cilangkap, Kota Depok, Jawa Barat. Majlis ini mengusung jargon: Mengisi Hati dengan Dzikir dan Thalabul Ilmi dan misi: Amar ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran). Aktivitas:
- Pengajian rutin setiap Rabu malam Kamis (dzikir sadzili dan kajian ilmu agama)
- Pemberian santunan kepada anak yatim dan kaum dhuafa
- Menggelar tabligh akbar di setiap momen hari besar Islam
- Pembiayaan pendidikan kepada anak kurang mampu dan anak yatim ke sekolah berbasis Islam seperti pesantren
- Rencana ke depan, memberangkatkan para guru ngaji dan marbot masjid ke tanah suci (haji dan umroh)
Informasi: (WA) 081219201911
Channel YouTube: Hubban TV
Sumber ilustrasi: https://www.its.ac.id/