
Penulis: Ustadz Triyoga AK,S.Ag
Kita semua sepakat bahwa Rahmat Allah itu luas tiada batas. Salah satu dimensi keluasan rahmat itu adalah ketika Allah membuka diri dengan para hamba-Nya untuk ”meneken” MoU (Memorandum of understanding) yang artinya adalah kesepakatan atau perjanjian kerja sama.
MoU itu sebenarnya berat sebelah, karena hanya menguntungkan satu pihak yaitu para hamba. Semua kesepakatan hanya bermuara kepada limpahan karunia dan maghfirah Allah untuk umat Nabi Muhammad saw. Tidak ada satu pun keuntungan bagi Allah, karena Allah memang Dzat yang tidak membutuhkan keuntungan dari hamba-Nya. Dia adalah Dzat yang Maha berdiri sendiri (Al-Qayyum), Maha Perkasa (Al-Azis) dan tempat bergantung semua makhluq (Ash-Shamad).
Lebih tepatnya, MoU itu sejatinya merupakan sebuah hadiah istimewa Allah SWT untuk Baginda Nabi saw dan umatnya. Menyitir kajian yang disampaikan oleh seorang ulama ahli tafsir, Gus Baha (KH Bahaudin Nursalim), Rasulullah pernah berstatemen: “Aku ini diberi hadiah oleh Allah, yang mana hadiah ini tidak diberikan kepada nabi-nabi terdahulu. Hadiah itu adalah ayat terakhir dari surat Al-Baqarah.”

Bagaimana mungkin sebuah hadiah bisa menyerupai MoU? Mari kita simak ayat tersebut. Pertama berbunyi: “Robbanaa laa tuakhidnaa in nasiina au akhta’na,” (Ya Tuhan kami, jangan adzab/hukum kami ketika kami lupa atau berbuat kesalahan). Menurut Gus Baha, ketika seorang hamba mengucap kalimat do’a itu Allah spontan menjawab: “Na’am,” (iya sepakat). Berarti deal atau terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak.
MoU kedua: “Robbana walaa tahmil ‘alainaa ishran kamaa hamaltahu ‘alal ladziina min qablina,” (Ya Tuhan kami, jangan bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami). Sama dengan MoU yang pertama, Allah langsung menjawab: “Na’am,” (iya sepakat). Kesepakatan kedua pun “diteken”.
MoU yang ketiga: “Robbanaa walaa tuhammilnaa maala thaqata lanaa bihi, (Ya Tuhan kami, jangan pikulkan kepada kami apa yang kami tidak sanggup memikulnya). Allah juga menyepakatinya dengan menjawab: “Na’am.”
Di akhir MoU, para hamba masih memohon kepada Allah: “Wa’fu’annaa, waghfirlanaa, warhamnaa, anta maulaanaa fansurnaa ‘alal qaumil kaafirin,” (Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir).
Di MoU yang pertama menyiratkan betapa besar maghfirah Allah SWT. Karena itu seorang hamba tidak boleh putus asa dari rahmat-Nya. Digambarkan dalam sebuah riwayat, suatu misal, ada seorang hamba menghadap Allah dengan membawa dosa sebanyak buih di lautan, maka maghfirah Allah lebih luas dari itu. Tidak ada yang bisa membatasi keluasan rahmat dan maghifrah-Nya, di dunia dan akherat.
Namun seorang hamba tentu harus berupaya meningkatkan kesadaran spiritualnya, menguatkan pemahaman tauhidnya dan memahami mekanisme amal salih yang berlaku selama hidupnya. Dengan begitu, maka ketika suatu waktu terjadi kelengahan, kelalaian atau bahkan kekhilafan yang membahayakan keselamatan dirinya, dia segera sadar dan kembali kepada ampunan Allah. Maka kekhilafan itu tidak akan menjadi dosa dan Allah tidak akan mengadzabnya.
Semakin tinggi tingkat kesadaran tauhid seseorang, maka semakin besar potensi naungan rahmat dan maghfirah Allah untuknya. Kesadaran itu dibangun melalui sebuah intensitas thalabul Ilmi (menuntut ilmu agama). Ilmu itulah yang akan menuntun jalan hidupnya, menerangi hatinya dan menjadi asbab Allah ridla dengannya, hingga membuka lebar-lebar pintu rahmat dan maghfirah-Nya.
Karena itu tidak semestinya seseorang membiarkan dirinya buta sama sekali terhadap pengetahuan tentang Ke-Maha-Esaan Allah, tentang hukum-hukum Allah dan tentang perintah-perintah Allah yang fardhu maupun yang sunnah. Dia harus ‘mencari’ menurut kadar kemampuannya.
Rasulullah saw pernah bersabda bahwa ciri orang bertobat itu —selain meninggalkan dosa— adalah bersemangat dalam menuntut ilmu. Sebab, ilmu itu akan menjaganya dari potensi kembali kepada dosa-dosa lama dan sekaligus menuntunnya ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Di MoU kedua kita bermohon kepada Allah agar tidak dibebani sesuatu yang berat seperti yang terjadi kepada umat-umat terdahulu. Sungguh, ini adalah suatu kesepakatan yang sangat menguntungkan kita, umat Nabi Muhammad saw. Segala kemudahan Allah sediakan. Kecukupan di segala aspek kehidupan Allah penuhi. Beribadah walau hanya sedikit Allah lipat gandakan pahalanya. Semua perkara menjadi baik bagi orang beriman.
Rasulullah saw pernah bersabda: “‘Ajaban Li amril mukmini. Inna amrahu kulluhu lahu Khairan. Walaisa dzaalika liahadin illa Lil mukmini. Inna ashaabathu sarraau syakara fakaana Khairan lahu. Wain ashaabathu dharraau shabara fakaana khairan lahu.”
Artinya: Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapat kesenangan, dia bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka itu juga merupakan kebaikan baginya.
Di MoU ketiga kita bermohon kepada Allah agar tidak dipikulkan sesuatu yang kita tidak sanggup memikulnya, dan Allah mengiyakannya. Lagi-lagi ini adalah kesepakatan yang sangat menguntungkan umat Rasulullah saw. Betapa tidak, Allah tidak akan menguji kita dengan sesuatu yang kita tidak mampu menjalaninya. Dengan kalimat lain, segala ujian yang menerpa umat Nabi Muhammad sudah Allah ukur dosisnya. Semua sesuai dengan kadar kemampuan setiap hamba.
Karena itu tidak semestinya seorang hamba berkeluh kesah secara berlebihan ketika datang suatu ujian. Justru ujian itu tidak lain merupakan salah bentuk kasih sayang (rahmat) Allah baginya. Allah hendak memuliakan dan mengangkat derajad seorang hamba dengan ujian itu. Tidak ada persoalan serumit apapun kecuali Allah telah menyediakan solusinya. Tidak ada penyakit seberat apapun kecuali Allah telah menyediakan obatnya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah bersabda: “Idzaa aradallahul abdu khairan, ibtalahu..” (Ketika Allah menghendaki seorang hamba itu baik, maka diujilah dia..). Mengapa demikian? “Liyasma’a thadharru’ahu,” (Untuk didengar rintihannya).
Maka ketika seseorang mendapatkan suatu ujian, lalu dia merintih kepada Allah dengan kalimat-kalimat thayyibah, sungguh Allah sangat mencintainya. Semakin sering dia merintih semakin Allah senang, dan Allah pasti akan memenuhi hajatnya. Namun terkadang Allah sengaja membiarkan seorang hamba merintih dalam waktu yang lama (tidak segera dikabulkan hajatnya).
Sebuah riwayat mengisahkan, bahwa hal tersebut sempat membuat malaikat sangat iba dan bertanya kepada Allah: “Ya Allah si fulan ini telah sekian lama bermunajat kepada-Mu, mengapa tidak segera diijabah ya Allah?” Allah menjawab: “Aku senang dengan rintihannya. Dan aku khawatir jika segera Aku penuhi hajatnya, dia akan berhenti dari merintih kepadaku.”
Yang jelas Allah Maha Tahu setiap urusan hamba-Nya. Dia juga Maha Bijak lagi Maha berkuasa untuk mengatur, menata, memberi solusi, dan memenuhi hajat semua makhluq-Nya. “Innahu ‘alaa kulli syaiin qadir, (Sungguh Dia adalah Dzat yang Maha berkuasa atas segala sesuatu).
Sebagai bentuk apresiasi terhadap MoU yang sangat menguntungkan itu, maka hendaklah kita ingat pesan Allah dalam QS Yunus ayat 58: “Qul bi fadhlillahi wa bi rahmatihi, fabidzaalika falyafrahuu…” (Katakan {wahai Muhammad} cukuplah dengan karunia dan rahmat Allah, dengan begitu mereka bergembira…)
Kegembiraan itu kita tuangkan dalam bentuk ketaatan. Yakni, Sebuah ketaatan yang didasari oleh sikap penghambaan yang tulus yang disertai dengan kesadaran mutlak tentang keluasan rahmat, karunia dan maghfirah Allah yang tiada batas. Maka perlahan namun pasti, hal demikian akan membentuk karakter jiwa yang muthmainnah, yaitu jiwa yang yakin seyakin-yakinnya akan perjumpaan dengan Allah, ridla dengan segala ketentuan-Nya, dan menerima atas segala pemberian-Nya.
Mengamalkan dengan membaca secara istiqamah ayat terakhir Al-Baqarah (MoU yang kita bahas tadi) adalah termasuk ikhtiar dalam ketaatan. Bahkan dalam sabdanya, Rasulullah menyebut amalan itu sebagai suatu kemuliaan.
“Man qaraa bil aayataini min aakhiri suratil baqarati fii lailatin kafaatahu, (Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka dia akan diberi kecukupan).
Wallahu a’lam bish Shawab
Ustadz Triyoga AK, S.Ag., adalah pimpinan Majlis Taklim Hubban Lil Iman, Cilangkap, Kota Depok, Jawa Barat. Majlis ini mengusung jargon: Mengisi Hati dengan Dzikir dan Thalabul Ilmi dan misi: Amar ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran). Aktivitas:
- Pengajian rutin setiap Rabu malam Kamis (dzikir sadzili dan kajian ilmu agama)
- Pemberian santunan kepada anak yatim dan kaum dhuafa
- Menggelar tabligh akbar di setiap momen hari besar Islam
- Pembiayaan pendidikan kepada anak kurang mampu dan anak yatim ke sekolah berbasis Islam seperti pesantren
- Rencana ke depan, memberangkatkan para guru ngaji dan marbot masjid ke tanah suci (haji dan umroh)
Informasi: (WA) 081219201911
Channel YouTube: Hubban TV