
Cerpen Rissa Churria
Namaku Prawesti. Seorang perempuan Osing kelahiran Glagah, di kaki Gunung Ijen, tempat kabut pagi tak hanya membawa embun, tapi kadang juga aroma kemenyan yang entah dari mana datangnya.
Aku kembali dari Surabaya setelah tujuh tahun bekerja sebagai teknisi jaringan di perusahaan rintisan. Kukira desa akan menjadi tempat tenang untuk menata ulang hidup dan membuka kelas digital untuk anak-anak muda. Tapi ternyata, teknologi bisa membuka pintu yang seharusnya tetap terurus.
Rumah masa kecilku kini penuh kabel, monitor, dan papan ketik. Keponakanku, Dewi, cepat belajar. Kami mulai mengarsipkan naskah-naskah kuno berbahasa Osing ke dalam bentuk digital. Naskah-naskah itu tersimpan di lumbung tua, warisan kakek yang pernah menjadi juru pelestari adat.
Satu naskah menarik perhatianku. Judulnya “Sesengker Kembang Jejeruk” — kisah tentang perempuan yang dapat mengutuk siapa pun lewat bayangannya. Ia disebut Endang Sari, perempuan bijak yang dibakar hidup-hidup oleh para tetua karena dianggap terlalu kuat dan mengancam adat lelaki.
“Mbakyu, kenapa nggak kamu buat blog soal itu?” tanya Dewi dengan polos. “Biar orang luar tahu cerita kita.”
Aku menuruti. Kuketik cerita itu dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Aku tambahkan ilustrasi wajah Endang Sari: mata kosong, mulut mengatup rapat, dan rambut menjuntai seperti akar waru tua.
Tak sampai tiga hari, blog itu meledak. Ribuan pengunjung. Tapi mulai malam keempat, semua berubah.
Laptopku menyala tengah malam. Tak terhubung listrik. Layar memperlihatkan rekaman CCTV rumah. Tapi yang muncul adalah Dewi… berdiri sendiri di teras, menatap ke arah sawah. Ia melangkah pelan, matanya kosong, seperti ditarik oleh sesuatu yang tak kasatmata.
Aku berlari ke luar, tapi hanya ada suara jangkrik dan embusan angin dari arah pemakaman tua.
Besok paginya, Dewi pingsan. Saat sadar, ia hanya berucap pelan: “Dia ingin kembali. Lewat huruf-hurufmu. Endang Sari bukan legenda. Dia hanya… tidur.
Desa mulai tak biasa. HP warga mendadak menampilkan kalimat acak berbahasa Osing Kuno. Anak-anak menangis ketakutan tiap malam, memandangi pojok-pojok gelap rumah seperti ada sesuatu yang sedang mengintai. Tiga ayam peliharaan mati dengan mata terbuka dan bulu hitam tercabut semua. Aku tahu ini bukan penyakit biasa.
Aku buka kembali folder naskah digital. File “Endang_Sari.txt” berubah nama menjadi “E.S_Melihatmu.exe”. File itu hidup sendiri. Menulis ulang dirinya. Kalimatnya terus bertambah meski laptop dalam mode offline:
“ Aku tak ingin diam. Kalian membakar tubuhku, tapi tidak sukmaku. Kalian menghapus namaku, tapi tidak ingatanku.”
Aku ketakutan. Tapi aku juga penasaran.
Aku datang ke rumah Mbah Ngarit, perempuan tua yang dijauhi warga karena konon bisa “mendengar bayangan.” Ia membaca naskah cetakanku sambil menghirup dupa dari bunga jejeruk.
“Kau menggali liang gaib lewat sinyal, Nduk,” katanya. “Kata itu bukan hanya suara. Ia bisa jadi pembuka dunia lain kalau kau salah eja.”
Ia menyarankanku menulis ulang cerita itu, tapi dalam versi penguncian. “Gunakan aksara sirna. Letakkan satu kata akhir: Ngurung.”
Aku menulis ulang kisah Endang Sari. Kutulis ulang dia bukan hanya penyihir, tapi penjaga perbatasan antara nalar dan naluri. Bahwa ia hanya marah karena dilupakan.
Kalimat terakhir kutulis dalam aksara Osing:
“Aku paham kini. Endang Sari bukan kutukan. Tapi suara. Dan suara bisa dikurung dalam aksara.”
Malam itu laptopku bergetar. Layar menyala merah darah. Suara jeritan keluar dari speaker meski tidak tersambung internet. Wajah Endang Sari muncul, menangis, lalu tersenyum… dan menghilang. File itu menghapus dirinya.
Besoknya Dewi kembali ceria. Tak ada lagi suara aneh. HP warga tak lagi error. Tapi aku tahu sesuatu telah berubah.
Aku terus menulis. Tapi kini dengan lebih hati-hati. Di tiap huruf, aku menaruh penghormatan. Sebab aku tahu, tulisan bisa jadi jembatan. Dan jembatan bisa jadi jebakan.
Bekasi, 04.04.2025
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 10 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.