Oleh Rissa Churria
Saat Mira, Arya, dan Nara melangkah memasuki menara hitam, udara di dalam terasa dingin dan lembab, seolah-olah dinding-dinding batu menyerap setiap jejak kehangatan. Mereka bisa mendengar suara tetesan air yang menggema di dalam lorong, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya keheningan yang menyesakkan.
“Tempat ini terasa salah,” kata Arya, menahan napas.
Peta di tangan Mira masih bersinar samar, memberi mereka sedikit cahaya untuk melihat jalan di depan. Namun, cahaya itu tidak mampu menembus kegelapan yang seolah-olah hidup di dalam menara.
“Kita harus tetap fokus,” kata Mira, mencoba menyembunyikan kegelisahan di suaranya.
“Peta ini membawa kita ke sini untuk alasan tertentu.” lanjutnya.
Mereka terus berjalan melewati lorong-lorong sempit, sampai akhirnya tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan pilar-pilar batu raksasa. Di tengah ruangan, ada sebuah cermin hitam yang besar, mengambang tanpa penyangga di udara. Cermin itu memancarkan aura yang tidak menyenangkan, dan meski tidak ada yang bergerak di dalamnya, mereka semua merasa seolah sedang diawasi.
“Apa itu?” kata Nara, yang biasanya ceria, menarik napas dalam-dalam.
“Aku tidak tahu, tapi sebaiknya kita tidak mendekatinya,” kata Arya sambil menarik adiknya menjauh dari cermin.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, peta di tangan Mira mulai bergetar hebat. Cahaya dari peta itu berpendar lebih terang, dan tiba-tiba, cermin hitam di depan mereka menyala dengan kilatan ungu. Dari dalam cermin, muncul bayangan—sesosok makhluk besar dan berwajah menyeringai, dengan mata yang bersinar merah.
“Penjaga Menara,” bisik Mira, menyadari bahwa makhluk ini adalah rintangan pertama yang harus mereka hadapi.
Makhluk itu melangkah keluar dari cermin, dan setiap langkahnya membuat lantai bergetar. Tubuhnya yang raksasa diselimuti jubah hitam pekat, dan dari tangan besarnya tergenggam tongkat sihir yang menyala dengan api hitam.
“Kalian berani masuk ke sini?” suaranya menggelegar, membuat jantung ketiga saudara itu berdegup kencang.
“Tidak ada yang boleh melewati menara ini tanpa menghadapi kekuatanku!”
“Kita tidak akan menyerah begitu saja!” teriaknya dengan keberanian yang hampir melampaui rasa takut.
Arya dengan cepat menarik pedangnya—pedang kecil yang selalu dibawa dari rumah mereka. Penjaga Menara mengangkat tongkatnya, dan dari ujungnya, semburan sihir hitam meluncur ke arah mereka. Arya mengayunkan pedangnya untuk menangkis, tapi sihir itu terlalu kuat. Dia terdorong mundur, hampir jatuh, dan Nara menjerit, berlari ke arah kakaknya.
“Berhenti! Kalian tidak bisa mengalahkannya dengan cara ini!” seru Mira.
Mira tahu bahwa kekuatan peta mereka adalah kunci untuk menghadapi makhluk ini. Dia menggenggam peta dengan erat dan memejamkan mata, mencoba merasakan arah sihir yang mengalir dari benda tersebut. Cahaya dari peta semakin kuat, hingga menerangi seluruh ruangan.
Penjaga Menara tampak terganggu oleh cahaya itu. Dia memundurkan diri sejenak, dan tatapannya yang menyala mulai meredup.
“Apa yang kau pegang itu … bukan sihir biasa,” gumamnya dengan kebingungan.
Mira akhirnya menyadari apa yang harus dia lakukan. “Arya! Nara! Kalian harus membuatnya sibuk!” serunya, sambil berusaha membaca pola cahaya dari peta itu.
“Ayo, Nara. Kita bisa melakukannya!” Arya bangkit dengan susah payah, dan meskipun tubuhnya masih terasa sakit, dia tahu bahwa mereka harus bertarung.
Mereka berdua menyerang Penjaga Menara dari dua sisi. Arya dengan pedangnya yang mengkilat, sementara Nara, yang kecil namun cepat, berlari mengitari makhluk itu, melemparkan batu-batu yang dia temukan di lantai. Meski tampak kecil, Nara berhasil membuat Penjaga Menara kehilangan fokus, dan Arya berhasil menebas tongkat sihirnya. Tongkat itu terlepas dari genggamannya, jatuh berdering di lantai.
Sementara itu, Mira memfokuskan diri pada peta yang kini memancarkan cahaya yang membentuk pola di lantai. Pola itu adalah semacam lingkaran sihir. Dia tahu bahwa ini adalah cara untuk mengalahkan Penjaga Menara.
“Cepat, Arya, Nara! Bawa dia ke tengah lingkaran ini!” seru Mira, menunjuk ke lantai.
Arya dan Nara bekerja sama, menarik perhatian Penjaga Menara dan perlahan membawanya ke lingkaran sihir yang dibentuk oleh cahaya peta. Penjaga itu, yang marah karena kehilangan tongkatnya, mulai menyerang dengan liar, tetapi tanpa tongkat, kekuatannya melemah. Dia tidak menyadari bahwa mereka sedang memancingnya ke dalam jebakan.
Ketika Penjaga Menara tepat berada di tengah lingkaran, Mira dengan cepat mengangkat peta tinggi-tinggi. Cahaya dari peta menyebar dan menciptakan dinding cahaya di sekitar makhluk itu, menjebaknya.
“Apa yang kau lakukan?! Tidak mungkin!” teriak Penjaga Menara dengan suara menggema. Dia mencoba melarikan diri, tetapi dinding cahaya itu terlalu kuat. Tubuhnya yang besar mulai terkoyak oleh sihir peta.
Akhirnya, Penjaga Menara meledak dalam kilatan cahaya ungu, menghilang dalam pusaran energi yang lenyap begitu cepat seperti saat dia muncul.
Ketiga bersaudara itu berdiri di tengah ruangan, terengah-engah dan lelah. Tapi mereka berhasil. Mereka telah mengalahkan penjaga pertama dari menara hitam ini.
“Kita berhasil,” gumam Nara, terengah-engah sambil memandang sekeliling.
“Aku tidak tahu bagaimana kau melakukannya, Mira, tapi kau menyelamatkan kita,” kata Arya, dengan kagum pada kakaknya.
Mira tersenyum kecil, tetapi dalam hatinya dia tahu bahwa ini hanyalah permulaan. Mereka telah mengatasi rintangan pertama, tetapi menara ini pasti masih menyimpan banyak rahasia dan bahaya.
“Ayo, kita harus terus maju,” kata Mira.
“Semakin cepat kita menemukan apa yang ada di puncak menara ini, semakin cepat kita bisa keluar dari sini.”
Dengan semangat yang pulih dan rasa percaya diri baru, mereka melanjutkan perjalanan mereka ke lantai atas menara. Di setiap langkah, suara gemuruh dari dinding-dinding batu seolah mengikuti mereka. Bahaya lain pasti menanti, tapi mereka tahu bahwa selama mereka bersama, mereka bisa menghadapinya.
Namun, yang tidak mereka ketahui adalah bahwa setiap langkah yang mereka ambil diawasi. Di puncak menara, seseorang sedang menunggu. Penguasa Menara Hitam, seorang penyihir yang kekuatannya melampaui semua yang pernah mereka hadapi, sudah mempersiapkan kejutan lain untuk mereka.
Dan di sinilah petualangan mereka menuju titik yang lebih berbahaya.
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.