Urgensi Berkompetisi Menjadi Manusia Terbaik

Posted by : wartajab Januari 10, 2025

Penulis: Ustadz Triyoga AK, S.Ag

Dulu, ketika Rasulullah saw berhijrah dan menetap di Kota Madinah, pernah dihadapkan pada situasi yang cukup rumit. Masyarakat Madinah yang majemuk, terdiri dari kaum Anshor, orang Yahudi, Nasrani dan berbagai kabilah suku-suku, memliki subyektivitas kepentingan yang menonjol. Masing-masing cenderung mengedepankan kelompoknya.

Tak terelakkan acap terjadi benturan kepentingan di antara mereka. Pembangunan sarana sosial, tempat ibadah dan infra struktur lainnya pun banyak yang terbengkalai. Tidak ada integritas yang solid untuk membangun kota Madinah, jika bukannya malah saling berebut hegemoni (dominasi kekuasaan).

Sebagai Khalifah yang mengemban misi suci Ilahi, Rasululullah lalu mengeluarkan sebuah statemen (sabda): “Khairun nas anfa’uhum lin nas,” (Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya).

Masyarakat Madinah pun heboh dengan statemen Rasululullah yang dinilainya menggelitik pikiran itu. Lalu mereka ramai mendiskusikannya. Betapa tidak, Rasulullah seakan-akan menepikan segala perbedaan berlatar belakang agama, suku dan golongan. Semua terkesan sama. Yang terbaik adalah yang ada manfaatnya bagi sesama manusia.

Ustadz Triyoga AK, S.Ag.

 

Mereka tidak sadar Rasulullah telah mengeluarkan ‘jurus’ jitu logika nubuwah yang menghipnotis semua kalangan, tak terkecuali orang-orang yang sudah menjadi pengikutnya. Faktanya setelah itu, mindset (pola pikir) mereka berubah drastis. Mereka tiba-tiba gencar berlomba-lomba dalam kebaikan dan saling memberi manfaat/kemaslahatan antarsesama, karena mereka ingin membuktikan bahwa mereka adalah manusia yang terbaik.

Yang menarik, banyak dari kalangan Yahudi, Nasrani dan lainnya saat itu menjadi tertarik dengan ajaran Rasulullah dan bahkan banyak yang menyatakan chek in ke agama yang dibawa oleh beliau saw. Tentu ini adalah suatu fase dinamika dakwah yang menarik dan bersifat positif-konstruktif yang tidak terlupakan dalam sejarah perjuangan Rasulullah.

Sebagai bentuk kontinuitas (kelanjutan) dari statemen tersebut, dalam situasi dan kondisi yang berbeda, Rasulullah bersabda lebih tegas lagi: “Khaslataani laa syaia afdhalu min humaa, al-iimaanu billahi wan naf’u lil muslimin,” (Ada dua hal yang tidak ada lagi sesuatu yang lebih utama dari keduanya, yaitu iman kepada Allah dan bermanfaat bagi sesama muslim).

Dari statemen kedua itu, semakin jelas arah edukasi yang diterapkan oleh Rasulullah saw. Ada semacam doktrin tersirat bahwa belum disebut sebagai muslim sejati sebelum melekat pada diri seseorang dua hal utama, yaitu iman yang mantab kepada Allah dan amaliah nyata yaitu kemanfaatan diri bagi sesamanya.

Wal hasil, iman dan amal salih itu ibarat dua sisi pada mata uang logam. Di satu sisi bertuliskan IMAN dan sisi baliknya tertulis AMAL SALIH. Artinya, ketika seseorang mengaku dirinya sebagai hamba beriman, maka di situ dibutuhkan manifestasi (perwujudan) yaitu amal salih nyata yang berkaitan dengan ‘habblum minan nas‘ (hubungan antarsesama).

Banyak statemen Rasululullah yang indikatif ke arah itu. Di antaranya adalah sabda beliau: “… Laa tu’minu hatta tahaabbu,” (Tidak sempurna iman seseorang hingga dia saling mencintai dengan sesamanya.)

Juga sabda yang lain lain: “Barang siapa mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangga, muliakanlah tamu, dan saling berbelas kasihlah dengan sesama.”

Sebaliknya, ketika seseorang melakukan suatu kebaikan (amal salih) maka landasan dasarnya harus jelas yaitu imaanan wahtisaaban (iman dan berharap balasan pahala dari Allah). Bukan karena alasan lain seperti ingin mendapat pujian dari sesama, ingin dihormati, ada misi ingin meraup kuntungan pribadi, ingin meraih kedudukan dan lain-lainnya. Agaknya, dalam perspektif ini, kata ikhlas benar-benar menempati posisinya yang tepat.

Akhirnya kita harus jujur mengakui bahwa statemen Rasulullah “Sebaik-manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain” itu adalah sebuah pondasi dasar bagi tatanan kehidupan sosial beragama. Kita diedukasi oleh beliau untuk saling peduli dan saling memberi manfaat antarsesama. Maka seyogyanya kita berlomba-lomba untuk menjadi manusia terbaik dan memperoleh posisi mulia di sisi Allah SWT.

Orang yang mulia di sisi Allah itu adalah orang yang mencapai derajat muttaqin. Dia adalah orang yang sepanjang hidupnya banyak memberi manfaat bagi sesama. Dia acap disibukkan oleh urusan amaliyah nyata: menebar kebaikan, gemar berbagi, menciptakan banyak kemaslahatan dan lain-lainnya

Di akhir tulisan ini perlu kita menyimak salah satu firman Allah dalam surat Al-Imron. Dikatakan bahwa salah satu ciri orang bertaqwa itu adalah: “Aladziina yunfiquuna fis sarraai wadh dharraai.” (Yaitu orang yang gemar berinfaq/bersedekah baik ketika dia dalam kondisi lapang maupun dalam kondisi sempit). Ya, dalam kondisi apapun tetap ingin menjadi manusia terbaik, yaitu manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Wallahu a’lam bish showab. (*)

 

Ustadz Triyoga AK,S.Ag., adalah pimpinan Majlis Taklim Hubban Lil Iman, Cilangkap, Kota Depok, Jawa Barat. Majlis ini mengusung jargon: Mengisi Hati dengan Dzikir dan Thal dan  misi: Amar ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran). Aktivitas:

  1. Pengajian rutin setiap Rabu malam Kamis (dzikir sadzili dan kajian ilmu agama)
  2. Pemberian santunan kepada anak yatim dan kaum dhuafa
  3. Menggelar tabligh akbar di setiap momen hari besar Islam
  4. Pembiayaan pendidikan kepada anak kurang mampu dan anak yatim ke sekolah berbasis Islam seperti pesantren
  5. Rencana ke depan, memberangkatkan para guru ngaji dan marbot masjid ke tanah suci (haji dan umroh)

Informasi:  (WA)  081219201911

Channel Youtube Hubban TV

RELATED POSTS
FOLLOW US