Ketika Iblis Menggugat Predikat Keimanan Seseorang

Posted by : wartajab Januari 17, 2025

Penulis: Ustadz Triyoga AK, S.Ag

Ada sebuah dialog menarik antara Nabi Isa AS dan Iblis terkait dengan predikat mukmin yang menempel pada diri seseorang. Ini tertuang dalam kitab Fathur Rabbani karya shultonul auliya Syeh Abdul Qadir Al-Jailani.

Dikisahkan, suatu ketika Nabi Isa bertemu dengan Iblis. Lalu terjadi percakapan antara keduanya.

Nabi Isa bertanya: “Ya Iblis, man ahabbul huliqa ilaika?” (Wahai Iblis, siapa makhluq/manusia yang engkau cintai?)

Iblis menjawab: “Mukminun bakhiilun” (Seorang mukmin yang bakhil).

Nabi Isa heran dengan jawaban itu, dan lalu bertanya lagi: “Wa man abghadhuhum ilaika, ya Iblis?” (Dan lalu siapa yang engkau benci, wahai iblis?)

Ustadz Triyoga AK, S.Ag.

 

Dengan lantang Iblis menjawab: “Faasiqun Kariimun” (Orang fasiq namun karim/dermawan).

Nabi Isa semakin terheran-heran dengan jawaban Iblis. Karena penasaran, beliau bertanya lagi: “Lima dzaalika, ya Iblis? (Bagaimana bisa seperti itu, wahai Iblis?)

Lalu Iblis memaparkan argumennya: “Ya Isa, liannii arjuul mukminul bakhiilu an yuwaqi’ahu yukhlahu fil ma’siyati, wa akhaafu minal faasiqil kariimi an tumhiya sayyiatuhu bikaramihi)

Artinya: “Wahai Isa, orang mukmin yang bakhil itu suatu ketika akan terseret kepada kemaksiatan berkat kebakhilannya, dan aku sangat takut kepada orang fasiq yang karim, sebab semua keburukannya akan terhapus berkat kekarimannya.”

Dialog dua makhluq Allah tersebut adalah i’tibar (percontohan) klasik yang pantas dijadikan bahan tadabur (perenungan). Iblis secara tidak sengaja telah membocorkan senjata rahasianya dalam menggoda manusia. Sebab, orang mukmin menjadi tahu titik lemah iblis yang ternyata sangat senang kalau ada orang yang mengaku beriman, bahkan sombong dengan keimanannya, namun tidak punya kepekaan batin dan kepedulian sosial. Ya, Iblis secara terang-terangan telah ‘menelanjangi’ dan menggugat status keagamaan dan predikat keimananan seseorang.

Sebaliknya, Iblis sangat benci dan takut kepada orang fasiq namun karim. Mengapa bisa demikian? Iblis sangat paham bahwa Allah sangat mencintai orang yang karim atau dermawan walaupun fasiq. Berkat kedemarwanannya itu, Allah akan mengampuni segala keburukan orang fasiq dan justru bisa menariknya ke jalan kebaikan. Iblis pun menggerutu: “Percuma saya menggoda dan menemani orang fasik dalam bermaksiat, toh akhirnya diampuni dosanya oleh Allah.”

Dalam konteks dialog tersebut sebenarnya tampak sekali kebodohan iblis yang dibungkus dengan kesombongannya. Sebab, secara tidak langsung, sebenarnya dia telah ‘memaksa’ mata dan hati kita untuk ‘menengok’ firman Allah SWT surat Al-Ma’un, yang secara keseluruhan berbicara tentang fenomena kedustaan dalam beragama dan keimanan.

Dalam surat Al-Ma’un tersebut Allah bertanya: “Araaital ladzii yukadzdzibu bid din?” (Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?)

Lalu Allah menjabarkan: “Fadzaalikal ladzii yadu’ul yatiim (Yaitu orang yang suka menghardik anak yatim). “Walaa yahuddu ‘alaa tha’aamil miskiin (Dan orang yang tidak mau memberi makan orang miskin).

Jelas sekali bahwa orang yang tidak ada kepedulian terhadap sesama, acuh tak acuh terhadap tatanan kehidupan sosial dan hanya mementingkan kebutuhannya sendiri, maka dia masuk katagori orang yang berdusta terhadap agamanya.

Tapi bukankah dia berstatus jelas: Islam, beriman dan, bahkan juga mendirikan shalat? Maka Allah tegaskan pada ayat berikutnya: “Fawailul Lil musholliina” (Maka celakalah orang yang mendirikan sholat).

Bagaimana mungkin orang shalat bisa celaka? “Alladziinahum ‘an shalaatihin saahun” (Yaitu orang-orang yang lalai di dalam sholatnya). Lalai yang dimaksud mencakup: “Alladziinahum yuroouna,” (Yaitu orang-orang —yang dalam shalatnya itu— bermaksud riya’/pamer terhadap sesama manusia), dan kemudian: “Wayamna’uunal maa’un,” (Dan orang-orang yang enggan berbagi atau enggan memberikan bantuan terhadap sesamanya).

Dapat dipahami bahwa kata “lalai” dalam perspektif shalat itu ternyata adalah sebuah aktivitas ibadah yang tidak didasari oleh keikhlasan, kecuali hanya untuk mencari dan mencuri perhatian sesama. Juga merupakan sebuah dimensi ibadah yang tidak ada dampak (atsar) apapun kepada pelakunya.

Padahal semestinya, ketika seseorang telah memenuhi standar keilmuan dalam shalatnya dan ada kesadaran interaktif antara dirinya dengan Dzat yang Maha Besar ketika shalat, maka itu akan secara otomatis mengarahkan hati dan jiwanya kepada karakter karimun (lemah lembut) dan jiwa kedermawanan yang kuat.

Karakter dan jiwa seperti itulah sejatinya prototipe mukmin yang kaffah (sempurna). Dia adalah mukmin yang berjiwa sosial tinggi. Hatinya luas seluas samudera. Jangkauan kepeduliannya sejauh mata memandang.

Ya, dia adalah seorang mukmin yang jujur dalam beragama. Bukan orang yang mendustakan agamanya. Dan yang pasti, dia telah berhasil membuat iblis menyesal karena telah membocorkan rahasia kelemahannya sendiri.

Wallahu a’lam bish showab

 


Ustadz Triyoga AK, S.Ag., adalah pimpinan Majlis Taklim Hubban Lil Iman, Cilangkap, Kota Depok, Jawa Barat. Majlis ini mengusung jargon: Mengisi Hati dengan Dzikir dan Thalabul Ilmi dan  misi: Amar ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran). Aktivitas:

  1. Pengajian rutin setiap Rabu malam Kamis (dzikir sadzili dan kajian ilmu agama)
  2. Pemberian santunan kepada anak yatim dan kaum dhuafa
  3. Menggelar tabligh akbar di setiap momen hari besar Islam
  4. Pembiayaan pendidikan kepada anak kurang mampu dan anak yatim ke sekolah berbasis Islam seperti pesantren
  5. Rencana ke depan, memberangkatkan para guru ngaji dan marbot masjid ke tanah suci (haji dan umroh)

Informasi:  (WA)  081219201911

Channel YouTube: Hubban TV

RELATED POSTS
FOLLOW US