Penulis: Ustadz Triyoga AK., S.Ag
Ada statemen penting berkaitan dengan amal-amal salih dari sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sahabat dan juga menantu Rasulullah saw itu suatu ketika bernasehat kepada para jamaahnya:
“Laula khamsa khishaalin lashaaran naasu kulluhum saalihin” (Seandainya tidak ada lima hal ini niscaya semua manusia akan menjadi salih atau baik).
Dengan kalimat lain dapat dipahami bahwa semua manusia itu sebenarnya punya potensi untuk menjadi orang baik/salih. Namun bisa gagal atau terhalang oleh lima hal.
Poin pertama, kata sayyidina Ali: “Al-qanaatu Bil Jahli,” (Qanaah/menerima atas kebodohannya). Bodoh yang dimaksud adalah stagnannya seseorang di dalam ilmu agama. Lalu dia menerima kenyataan itu dan tidak berupaya untuk mengejar ketertinggalannya. Membiarkan dirinya terlelap dalam status quo (kemapanan) yang semu.
Tentu apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali yang oleh Rasulullah disebut baabul ‘ilmi (pintunya ilmu) itu bukanlah mengada-ada. Pasalnya, bagi orang yang mau menggunakan akal sehatnya, ilmu agama memang merupakan kebutuhan primer untuk mencapai kebahagiaan dunia dan —apalagi— akherat. Maka ketika seseorang tidak menjadikan hal itu skala prioritas dalam hidupnya, dijamin dia akan gagal menjadi orang salih. Dampaknya jelas, akan sulit baginya meraih kesuksesan dan kebahagiaan sejati.
Baginda Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Man salaka thaariqan yaltamisu fiihi ‘ilman, sahalallahu lahu thaariqan Ilal Jannah,” (Barang siapa menempuh suatu jalan dalam rangka untuk menuntut ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga).
Jelas sekali bahwa menuntut ilmu adalah ‘jalan tol’ menuju surga. Sebab ilmu adalah cahaya yang menerangi setiap sudut kehidupan ini. Ilmu pula yang menjadikan setiap aspek ibadah menjadi sempurna. Bahkan ada warning (peringatan) bahwa beramal atau beribadah tanpa didasari oleh ilmu atau pengetahuan yang cukup tentang ibadah itu, maka dijamin ibadahnya akan tertolak (mardudatun).
Sedemikian urgenya ilmu hingga Rasulullah menyebut bahwa menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi semua orang Islam, tanpa kecuali. Bahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, beliau bersabda:
“Ad-dunya mal’uunatun mal’uunun maa fiiha Illa dzikrallahi wamaa waalaahu au ‘aaliman au muta’aliman” (Dunia dan seluruh isinya dilaknati, kecuali dzikir mengingat Allah, taat kepada-Nya, menjadi orang yang berilmu/alim, atau orang yang belajar ilmu agama).
Jadi, sehebat apa pun manusia dalam pencapaian dunianya jika tidak ada tendensi kepada yang tertera di hadits tersebut, maka sungguh sia-sialah hidupnya. Dia masuk katagori mal’uunun (orang yang terlaknat).
Menyikapi hal tersebut, dengan sangat bijak Rasulullah memberi alternatif yang harus dilakukan oleh umatnya. Pertama kata beliau Saw: kun ‘aaliman (jadilah orang alim). Dengan segala daya dan upaya, kita diperintahkan untuk menjadi orang yang paham agama dan bisa mengajarkan ilmu itu kepada sesama.
Jika terasa berat, karena tentu tidak semua orang berkemampuan sama dan apalagi menjadi orang alim itu juga merupakan pilihan Allah, maka Rasulullah memberi alternatif yang kedua: “au muta’alliman (atau jadilah orang mau belajar). Di sini terkandung makna adanya upaya yang gigih dan penuh semangat dalam mencari ilmu. Dan karena intensitasnya yang tinggi, bisa jadi orang yang berada di alternatif kedua ini akan naik maqom, yaitu di level aaliman (orang alim).
Jika ternyata masih belum mampu juga berada di jalur alternatif kedua karena kesibukan kerja atau yang lainnya, Rasulullah masih memberi kesempatan agar berada pada jalur alternatif yang ketiga: au mustami’an (atau jadilah pendengar). Maknanya adalah berupaya menyempatkan diri di tengah-tengah kesibukan urusan dunianya untuk hadir di majlis-majlis ilmu, duduk bersama ulama, dan mendengarkan nasehat-nasehat agama.
Ya, jadi pendengar (mustami’an) yang baik, dan dengan segenap ketulusan hatinya bergairah mendengar nasehat-nasehat, maka itu cukup bagi seseorang untuk menghindarkan diri dari laknat Allah SWT. Apalagi nasehat atau mauidzah hasanah itu memang merupakan ‘peluru’ yang akan menerjang tembok kerasnya hati. Juga merupakan obat penawar bagi hati yang mungkin nyaris mati. Juga merupakan nutrisi yang akan menyehatkan hati. Sabda Rasulullah: “Li annal ‘ilma hayaatul qalbi,” (Sesungguhnya ilmu itu merupakan kehidupan hati).
Fakta kekinian, ternyata masih banyak orang yang mengaku belum ada kemampuan meskipun cuma pada level mustami’an. Luar biasa, Rasulullah masih memberi alternatif yang keempat: au muhibban (atau jadilah orang yang mencintai). Cinta kepada ilmu, cinta kepada ulama dan cinta kepada majlis-majlis ilmu. Maka manifestasi dari cinta tersebut adalah dengan memberikan support lahir dan batin sesuai dengan kemampuannya. Bisa dengan harta, tenaga, pikiran dan apapun yang bisa bermanfaat untuk kegiatan dzikir dan belajar mengajar di majlis-majlis ilmu.
Yang penting, kata Baginda Nabi: “wa laa takun khomisan,“ (jangan jadi yang kelima). Siapa itu? Yaitu orang yang membenci. Maknanya adalah membenci ilmu, membenci orang alim dan membenci suatu kegiatan majlis ilmu. Jika itu terjadi, maka kata Rasulullah: fatahlika (kamu akan celaka). Na’uudzu billahi min dzalik.
Termasuk katagori celaka adalah orang yang gagal menjadi orang salih/baik. Penyebabnya adalah al-qanaatu bil jahli (menerima atas kebodohannya), dan justru kadang bangga masuk kelompok kelima tadi, yaitu membenci. Dia adalah orang yang selalu mengukur segala aspek kehidupannya dengan raihan prestasi dan materi dunia. Seakan dunia akan berlangsung selamanya, dan akherat hanya ilusi belaka. Padahal Rasulullah pernah mengingatkan bahwa disebut orang cerdas atau pintar itu adalah orang yang selalu ingat akan mati dan lalu menyiapkan bekalnya.
Maka kita harus berupaya jadi orang yang cerdas, yaitu membebaskan diri dari status al-qanaatu bil Jahli itu. Dengan lepasnya kita dari status itu, maka Allah akan memenuhi janjinya sebagaimana firman-Nya:
“Yarfaillahul ladziina aamanu minkum walladziina uutul ‘ilma darajat,” (Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat).
Tidak celaka dan justru Allah angkat derajat orang yang tidak al-qanaatu bil jahli. Poin pertama yang sangat menentukan untuk menjadi orang salih atau baik. Empat poin lainnya insyaa Allah akan kita bahas di edisi berikutnya.
Wallahu a’lam bish showab. (*)
Ustadz Triyoga AK, S.Ag., adalah pimpinan Majlis Taklim Hubban Lil Iman, Cilangkap, Kota Depok, Jawa Barat. Majlis ini mengusung jargon: Mengisi Hati dengan Dzikir dan Thalabul Ilmi dan misi: Amar ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran). Aktivitas:
- Pengajian rutin setiap Rabu malam Kamis (dzikir sadzili dan kajian ilmu agama)
- Pemberian santunan kepada anak yatim dan kaum dhuafa
- Menggelar tabligh akbar di setiap momen hari besar Islam
- Pembiayaan pendidikan kepada anak kurang mampu dan anak yatim ke sekolah berbasis Islam seperti pesantren
- Rencana ke depan, memberangkatkan para guru ngaji dan marbot masjid ke tanah suci (haji dan umroh)
Informasi: (WA) 081219201911
Channel YouTube: Hubban TV
KETERANGAN FOTO: Salah satu kegiatan majlis ilmu di Majlis Hubban Lim Iman.