Barometer Kehinaan dan Kemuliaan di Sisi Allah SWT

Posted by : wartajab Februari 7, 2025

 

Penulis: Ustadz Triyoga AK,S.Ag

Suatu ketika Rasulullah saw bernasehat kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib: “Wahai Ali, carilah kebaikan walau dengan orang yang hina.”

Sayyidina Ali tertegun dengan nasehat Rasulullah ini, lalu bertanya: “Siapa yang engkau maksud dengan orang yang hina itu ya Rasulullah?”

Baginda Nabi lalu menjelaskan: “Yaitu orang yang ketika diberi nasehat, dia tidak mau mendengar nasehat itu. Juga orang yang ketika diberi tahu tentang larangan-larangan, dia menerjangnya. Dan juga orang yang tidak peduli dengan semua perkataan dan apapun yang dikatakan kepadanya.”

Dari statemen Rasulullah tersebut dapat dimengerti bahwa orang yang hina adalah orang yang tidak suka mendengar atau bahkan membenci nasehat yang baik (mauidzah hasanah). Dan itu jelas merupakan indikasi kerasnya hati seseorang. Subyek yang terlibat di sini tidak selalu seorang yang jahil (bodoh). Tapi acap juga melibatkan orang yang tampak secara dzahir seperti orang berilmu (alim). Jika hatinya keras laksana batu, maka akan tampak padanya perilaku sombong. Ciri utamanya adalah apriori terhadap nasehat dan cenderung menganggap remeh/rendah orang lain.

Kecenderungan orang sombong adalah bersikap masa bodoh dengan semua perkataan yang baik yang melintas di telinganya. Maka, meskipun mungkin dia tampak hebat dan mulia di mata manusia, namun sebenarnya dia telah tergiring kepada kehinaan sejati, yaitu hina di sisi Allah SWT.

Ustadz Triyoga AK,S.Ag

 

Orang yang hina juga indikatif kepada orang yang suka menerjang larangan Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada rasa takut dan penyesalan di hatinya ketika bermaksiat dan lalai dari mengingat Allah SWT. Maka dengan gamblang Allah tegaskan dalam firman-nya QS al-hujurat 123:

Inna akkramakum ‘indallahi atqaakum (Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa).

Ayat tersebut menyiratkan bahwa maqom kemuliaan bukan diukur dari banyaknya harta, tingginya jabatan dan menterengnya kedudukan. Juga bukan dilihat dari gagah dan tampannya sebuah performance. Bahkan juga bukan distandarkan kepada tingkat kealiman atau melimpahnya ilmu seseorang. Tapi monitoring Allah lebih fokus kepada hati dan amal hamba-hamba-Nya. Itulah barometer derajat ketaqwaan seseorang.

Jadi, jika orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa (takut kepada Allah), maka sebaliknya, orang yang paling hina adalah orang tidak punya rasa takut terhadap larangan dan ancaman Allah SWT.

Jelaslah sekarang bahwa taqwa adalah fundamental line yang menentukan eksistensi hidup manusia: sebagai orang yang mulia atau orang hina di sisi Allah SWT.

Sedemikian urgennya persoalan taqwa ini hingga Rasulullah berpesan kepada para juru dakwah (da’i) dan orang alim, yaitu agar selalu mengutamakan ketaqwaan kepada diri sendiri terlebih dahulu sebelum dan beriringan dengan tugas pokoknya menyampaikan nasehat dan ilmu-ilmu Allah kepada orang lain.

Dengan untaian kalimat yang indah Rasulullah bersabda: “Jika tidak ada pada diri seorang alim ketaqwaan, maka mauidzah hasanahnya tidak akan merasuk di hati manusia, sebagaimana tidak meresapnya air embun di atas burung unta dan batu cadas.”

Dalam Al-Qur’an surat ash shaf ayat 4 secara spesifik Allah mengingatkan orang-orang alim yang tidak dihiasi oleh ketaqwaan: “Sungguh besar kebencian Allah jika engkau mengatakan apa-apa yang tidak engkau lakukan.”

Dalam surat lain, persisnya di QS Al-Baqarah ayat 44, Allah juga mengingatkan: “Mengapa engkau menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan, akan tetapi engkau melupakan itu bagi dirimu sendiri.”

Dengan kalimat yang berbeda: mengapa engkau menyuruh dan mencegah orang lain agar tidak menjadi orang hina, sementara engkau membiarkan dirimu sendiri dalam kehinaan? Sebuah analog, seorang dokter terkadang sangat sibuk dengan urusan beragam penyakit pasien-pasiennya, hingga lupa bahwa dirinya sendiri juga sedang berpenyakit dan membutuhkan terapi. Namun dia tidak menghiraukannya.

Kembali ke statemen Rasulullah di awal tulisan, mengapa Beliau menasehati kita agar mencari kebaikan walau kepada orang yang hina? Pertama adalah sebagai ibroh (pelajaran) agar kita tidak terjerumus kepada kehinaan serupa. Apalagi setelah kita mengetahui ekses destruktif yang ditimbulkan oleh kehinaan tersebut.

Lalu yang kedua agar kita tidak menjadi orang yang merugi sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Asyr, bahwa hidup itu pada hakekatnya adalah sebuah kerugian. Kecuali orang yang beriman dan beramal salih, dan senantiasa saling bernasehat kebaikan dan kesabaran.

Nah, bernasehat kebaikan itu harus dijalankan dengan istiqamah (kontinyu), teguh, ikhlas dan penuh kesabaran, kendati harus berhadapan dengan orang-orang yang hina sekalipun. Maka semua itu adalah pundi- pundi kebaikan yang bernilai pahala yang sangat besar dari Allah SWT.

Wallahu a’lam bish showab.

 


Ustadz Triyoga AK, S.Ag., adalah pimpinan Majlis Taklim Hubban Lil Iman, Cilangkap, Kota Depok, Jawa Barat. Majlis ini mengusung jargon: Mengisi Hati dengan Dzikir dan Thalabul Ilmi dan  misi: Amar ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran). Aktivitas:

  1. Pengajian rutin setiap Rabu malam Kamis (dzikir sadzili dan kajian ilmu agama)
  2. Pemberian santunan kepada anak yatim dan kaum dhuafa
  3. Menggelar tabligh akbar di setiap momen hari besar Islam
  4. Pembiayaan pendidikan kepada anak kurang mampu dan anak yatim ke sekolah berbasis Islam seperti pesantren
  5. Rencana ke depan, memberangkatkan para guru ngaji dan marbot masjid ke tanah suci (haji dan umroh)

Informasi:  (WA)  081219201911

Channel YouTube: Hubban TV

RELATED POSTS
FOLLOW US