![](https://wartajabar.net/wp-content/uploads/2025/01/Seri-13.png)
Oleh Rissa Churria
Dengan Kunci Waktu yang telah mereka dapatkan dari Penguasa Gua, Mira, Arya, dan Nara melanjutkan perjalanan mereka menuju bagian berikutnya dari petualangan besar mereka. Menurut legenda kuno, kunci tersebut bukan hanya membuka pintu fisik, tetapi juga dapat mengubah jalur waktu, memungkinkan mereka untuk melacak harta karun kuno yang tersembunyi di Negeri Bayangan. Namun, negeri ini dikenal penuh dengan tipu muslihat, ilusi, dan perangkap yang mematikan.
Mereka tiba di pintu masuk Negeri Bayangan saat matahari mulai terbenam. Cahaya matahari yang memudar membuat bayangan pepohonan terlihat lebih panjang dan berbahaya. Angin berembus membawa bisikan halus yang terdengar seolah ada yang memperingatkan mereka untuk segera pergi. Tetapi ketiga saudara itu sudah terbiasa dengan bahaya. Mereka melangkah masuk dengan hati-hati, namun penuh keyakinan.
Di depan mereka, terhampar hamparan tanah luas yang dipenuhi kabut tipis. Setiap langkah yang mereka ambil membuat bayangan mereka semakin panjang, hingga pada akhirnya, bayangan-bayangan itu mulai bergerak sendiri.
“Apakah kalian melihat ini?” Nara berbisik, matanya terbelalak.
Bayangan mereka tidak lagi mengikuti gerakan mereka. Sebaliknya, bayangan itu berbalik menghadap mereka, seolah hidup dan siap menyerang.
“Apa yang terjadi?” tanya Arya dengan suara pelan, tangannya meraih pedangnya.
“Ini Negeri Bayangan,” jawab Mira dengan suara tenang tapi tegang.
Segala sesuatu di sini adalah ilusi, tapi ilusi yang mematikan. Kita harus siap untuk apapun.”
Tiba-tiba, tanpa peringatan, bayangan mereka menyerang. Bayangan Arya melompat ke arahnya dengan pedang terhunus, sementara bayangan Nara dan Mira menyerang dengan kekuatan yang sama persis seperti mereka. Mereka kini terlibat dalam pertempuran dengan bayangan diri mereka sendiri.
“Aku tidak bisa melawan diriku sendiri lagi!” teriak Nara, mengingat pertempurannya di labirin gua sebelumnya.
“Kita harus tetap tenang!” Arya berteriak, mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan dari bayangannya.
“Mereka hanyalah ilusi! Mereka tidak nyata!”
Namun, bayangan-bayangan itu terasa sangat nyata. Setiap serangan yang mereka lakukan terasa sama kuatnya dengan diri mereka sendiri. Pertarungan semakin memanas, dengan ledakan kilat dan percikan api setiap kali pedang bertemu pedang. Namun, semakin mereka melawan, semakin kuat bayangan mereka. Rasanya seperti pertempuran yang tidak pernah akan berakhir.
Tiba-tiba, Mira menyadari sesuatu. “Jangan lawan mereka!” teriaknya.
“Kita harus menerima mereka! Mereka adalah bagian dari diri kita!”
Arya dan Nara mendengarnya, meskipun dalam hati mereka merasa sulit untuk berhenti melawan. Namun, dengan upaya besar, mereka perlahan menurunkan senjata mereka. Saat itu juga, bayangan mereka mulai memudar, seolah-olah kehilangan kekuatan karena tidak lagi ada yang melawan.
“Ini bukan tentang kekuatan fisik,” kata Mira dengan tenang.
“Ini tentang mengendalikan diri. Di tempat ini, kita harus pintar. Pertarungan dengan diri sendiri bukanlah kemenangan sejati.”
Namun, pertempuran bayangan itu hanyalah permulaan. Setelah bayangan-bayangan itu hilang, mereka melanjutkan perjalanan lebih dalam ke dalam Negeri Bayangan. Kabut semakin tebal, dan suara bisikan semakin keras, mengisi kepala mereka dengan pikiran-pikiran yang aneh.
“Kalian tidak akan pernah berhasil.”
“Tidak ada yang bisa keluar dari sini hidup-hidup.”
“Berhentilah sekarang sebelum terlambat.”
Suara-suara itu semakin keras dan berusaha menggoyahkan keyakinan mereka. Namun, ketiga saudara itu terus melangkah maju, meskipun setiap langkah terasa semakin berat. Saat mereka mendekati jantung Negeri Bayangan, mereka disambut oleh sosok misterius dengan wajah yang tidak jelas, seolah-olah bayangan itu sendiri.
“Aku adalah Penguasa Bayangan,” suara itu berbicara dengan nada rendah, hampir seperti berbisik namun terdengar keras di telinga mereka.
“Siapa pun yang memasuki negeriku harus membuktikan bahwa mereka layak melewati ini.”
Kami tidak akan mundur. Kami mencari kunci terakhir yang akan membuka jalan menuju tujuan kami.” Arya maju ke depan dengan tegas.
“Kunci terakhir bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan oleh sembarang petualang. Hanya mereka yang mampu melihat kebenaran di balik bayangan yang bisa menemukannya.” Penguasa Bayangan tertawa pelan, nadanya penuh ejekan.
“Tunjukkan jalannya,” Mira menantang.
“Jika kalian ingin menemukan kunci terakhir, kalian harus melewati ujianku. Tapi berhati-hatilah, ujian ini bukan seperti yang pernah kalian alami sebelumnya. Ini adalah ujian pikiran, hati, dan jiwa. Setiap langkah yang kalian ambil akan menentukan nasib kalian.” kata Penguasa Bayangan.
Tanpa menunggu persetujuan mereka, tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba retak, dan mereka jatuh ke dalam kegelapan. Mereka terlempar ke dalam dunia bayangan yang lain, di mana segala sesuatu terasa terbalik dan tidak sesuai dengan logika.
Mira, Arya, dan Nara terpisah satu sama lain. Mereka berada di lorong-lorong yang berbeda, masing-masing harus menghadapi ketakutan terbesar mereka sendiri.
Mira menemukan dirinya di sebuah padang pasir tandus, di mana bayangan ayahnya muncul di depannya.
“Kamu tidak cukup kuat untuk melindungi mereka,” suara ayahnya bergema di kepalanya.
Mira terdiam sejenak, merasakan ketakutan yang mendalam bahwa kata-kata itu mungkin benar. Namun, ia mengingat semua yang telah ia pelajari selama perjalanan. Ia menatap bayangan ayahnya dan berkata,
“Aku mungkin tidak sempurna, tapi aku tidak akan berhenti berjuang.” Saat ia mengucapkan kata-kata itu, bayangan itu memudar, dan jalan di depannya terbuka.
Sementara itu, Arya berada di sebuah ruang penuh cermin. Setiap cermin menunjukkan versi dirinya yang berbeda, masing-masing dengan ambisi besar dan keegoisan.
“Lihatlah dirimu,” kata cerminnya.
“Kamu hanya peduli pada kekuasaan dan kemuliaan.” Arya berjuang melawan bisikan cermin, tetapi ia tahu bahwa ada kebenaran di dalamnya.
Ia selalu ingin menjadi yang terkuat, yang paling dihormati. Tapi ia juga tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang dirinya. Dengan tekad yang kuat, ia menghancurkan cermin-cermin itu, membebaskan dirinya dari ambisinya yang berlebihan.
Di sisi lain, Nara terjebak dalam ruangan yang gelap gulita. Ia sendirian, tidak ada suara, tidak ada cahaya. Ketakutan terbesarnya adalah kesendirian. Ia selalu bergantung pada kedua kakaknya untuk melindunginya. Namun, kali ini, ia harus berdiri sendiri. Dengan napas yang gemetar, ia berkata kepada dirinya sendiri,
“Aku bisa melakukannya. Aku kuat.” Saat ia mengucapkan kata-kata itu, cahaya mulai menerangi ruangan, dan pintu di depannya terbuka.
Setelah masing-masing menghadapi ketakutan mereka, ketiga saudara itu bertemu kembali di pusat Negeri Bayangan. Di sana, mereka melihat sebuah pohon besar yang bersinar dalam kegelapan. Di puncaknya, tertanam Kunci terakhir yang mereka cari.
Namun, sebelum mereka bisa mencapainya, Penguasa Bayangan muncul kembali. “Kalian telah melewati ujian kalian, tapi perjalanan kalian belum berakhir. Untuk mengambil Kunci Terakhir, kalian harus bersedia memberikan sesuatu yang berharga,” katanya.
“Apa yang harus kami berikan?” tanya Mira.
“Keyakinan, apakah kalian benar-benar percaya bahwa kalian layak untuk itu?” jawab Penguasa Bayangan.
Mira, Arya, dan Nara saling memandang. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh bahaya, tapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah sekarang. Dengan penuh keyakinan, mereka maju bersama dan meraih Kunci Terakhir.
Dengan Kunci Terakhir di tangan, mereka menyadari bahwa petualangan mereka di Negeri Bayangan hanyalah awal dari tantangan yang lebih besar. Bayangan-bayangan itu mungkin telah menguji mereka secara fisik dan mental, tetapi kebenaran terbesar masih menanti di depan mereka.
Ketiga saudara itu telah berhasil melewati ujian tipu muslihat dan ilusi di Negeri Bayangan. Mereka sekarang memiliki Kunci Terakhir, tetapi mereka juga tahu bahwa setiap kemenangan membawa tantangan baru. Pertarungan melawan ketakutan mereka sendiri telah membuat mereka lebih kuat, tetapi petualangan yang lebih berbahaya menunggu di depan.(*)
PENULIS
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.